Jika temanmu gagal kau akan merasa sedih, tapi jika temanmu menjadi
yang terbaik kau akan lebih sedih! (3 idiot)
Ehem…
Diakui atau tidak, aku, kamu, dan kalian, pasti sedih saat melihat
teman seperjuangan kita gagal. Itu manusiawi. Tetapi, kita akan lebih sedih
lagi, saat teman seperjuangan kita, menjadi yang terbaik atau selevel lebih
tinggi dari kita. Itu juga manusiawi. Hahaha. *Hayooo ngaku. Hoho. Yah, itulah salah satu tingkah manusia. Right?
Bagiku hal seperti itu nggak masalah. Asalkan saat kita berada selevel di
bawah teman kita, kita tak berlarut-larut dalam kesedihan. Tetapi, mencoba
bangkit dan mengejar ketertinggalan kita. Yang menjadi masalah adalah saat kalah
dari teman kita, kita malah semakin terpuruk, ngambek, cemberut, pasang muka
kucel dan tidak mencoba bangkit berdiri untuk mengejar ketertinggalan dari
teman kita. *Catat! Ckckck.
Sebenarnya, sudah dari sejak kemarin sore aku ingin menuliskan apa
yang sudah berjubel-jubel nggak karuan di otakku ini. Hanya saja waktu yang tak
mengizinkannya. Yakin, tadi malam aku nggak bisa tidur nyenyak, hanya gara-gara
memikirkannya. Plakkkk! Malah curhat. Hahaha. Tetapi, akhirnya pagi ini Tuhan memberikan
kesempatan untukku menuliskannya. Yah, meski listrik mati dan si mentari tak
kunjung menampakkan diri, aku tetap semangat untuk senam jari di atas keyboard
lepi. Hihihi.
Ok. Aku awali saat kemarin sore aku chat dengan teman
seperjuanganku di asrama penulis Rumah Diva. Sebut saja namanya Ucup. Setelah
basa-basi, tanya kabar dan sebagainya, dia melontarkan satu pertanyaan yang
menyodok ulu hatiku. “Gimana, kabar tulisanmu? Udah di muat di mana?” tulisnya
di inbox FB-ku. Ah, aku benar-benar kaget mendapat pertanyaan itu. Sebab, sejak
tulisan pertamaku di muat di koran Suara Karya Jakarta bulan Juni 2012
yang lalu, tulisan dan namaku tak pernah nongkrong lagi di media massa selain,
di blogku sendiri, website PWNU DIY dan
Majalah Bangkit PWNU DIY. Itu saja, karena aku reporter dari majalah tersebut. Sebaliknya,
milik teman-temanku satu persatu nangkring dengan manisnya di media massa.
Aku masih ingat, saat Omen Nugroz Sandriyani, si pecinta wanita
dari Cirebon , berteriak girang nggak karuan, karena tulisannya nyungsep di Harian
Jogja. Aku juga masih ingat saat Ipunk, si jenggot dari Madura, malu-malu
menunjukkan karyanya yang bertengger indah di Harian Jogja. Aku juga
masih ingat sekali saat Nur Sholikin yang katanya ingin menjadi Menteri
Pendidikan, membuat gebrakan luar biasa. Bayangkan, dua hari berturut-turut,
namanya menduduki tahta media massa di Radar Jateng dan Lampung Post.
Dan, satu lagi yang nggak terlupakan adalah saat ucup, yang memakai nama pena
Muhammad Yusuf Ar-Rahman, karya pertamanya mengobrak-abrik koran Harian
Jogja dengan judul bombastis, “Surat Terbuka untuk Presiden”.
Sampai-sampai, tulisan ini mendapat apresiasi dari sastrawan galau dari Madura,
Mawaidi. D. Dimas. Upps, sory salah. Mawaidi D. Mas, maksudnya. Ckckck.
Yah, melihat perkembangan teman-temanku tersebut, aku mencoba
mengejarnya. Sejak itu, aku rajin menulis opini–meskipun tidak setiap hari–dan mengirimkannya ke media massa. Tetapi, hingga
hari ini, menit ini, detik ini, nama dan tulisanku tak kunjung bertengger di
media massa lagi. Sedih? Pastinya. Tapi itu tak membuatku patah semangat. Untung,
sejak tulisannya Ucup di muat di Harian Jogja, nggak ada lagi tulisan
dari teman-teman yang dimuat lagi selain cerpen dan pusinya Mawaidi. D. Mas. Lumayan,
bisa memberiku kesempatan untuk bernapas. Xixixi.
Saat liburan
semester tiba, aku sudah merencanakan untuk tidak pulang. Aku ingin
menggembleng diriku sendiri untuk terus menulis opini setiap hari dan
mengirimkannya ke media massa. Tapi sayang, keinginan tersebut tak terwujud.
Aku disuruh pulang kakakku, karena bapak sakit. Yah, meski berat hati
meninggalkan asramaku yang penuh kompetisi, aku tetap pergi.
Meski jauh dari
teman-temanku, aku masih tetap menjalin komunikasi. Tanya kabarlah atau apa. Tapi
yang sering aku tanyakan adalah tentang karya teman-temanku, ada yang dimuat
lagi nggak. Itu kulakukan, agar aku tahu perkembangan teman-teman di asrama.
Yah, untuk beberapa waktu aku lega, karena belum ada. hahaha. Lumayan lagi
bagiku untuk beristirahat sejenak, karena di rumah aku nggak bisa menulis opini
dan mengirimkannya ke media massa. Jaringan internet yang susah dan sikon rumah
tak memberiku kesempatan untuk fokus menulis. Jadilah aku hanya membuat
coretan-coretan tak berarti seperti ini di lepiku.
Istirahat
menulisku di rumah terganggu saat beberapa waktu lalu aku mendapat pesan pendek
dari Ucup yang mengatakan bahwa puisinya si calon Menteri Pendidikan, Sholikin,
nangkring di Majalah Kuntum. Ah, sungguh betapa gusarnya hatiku. Ingin
segera aku kembali untuk mengejar ketertinggalanku. Tapi sayang, sekali lagi
Tuhan nggak mengizinkan. Bapakku belum juga baikan. Akhirnya hal itu memaksaku
bertahan lebih lama di rumah. Aku coba menghibur diriku sendiri dengan merawat
bapakku.
Tetapi, lagi-lagi hatiku panas nggak karuan ketika kemarin sore,
ucup memberitahuku bahwa tulisannya Fawaid, ahli fiqh dari Bondowoso, menjebol
redaksi Majalah Kuntum, puisinya Zainudin Kawula, bertengger gagah di Batam
Post. Dan lagi-lagi, tulisannya si Calon Menteri Pendidikan di muat di Koran
Bali. Ah, sungguh semua itu membuatku tak sabar untuk segera kembali dan
berkompetisi lagi.
Untuk teman-temanku di Asrama, aku bangga punya teman-teman seperti
kalian yang memiliki semangat dan etos kerja tinggi. Kalian tau? Kalian
memaksaku berlari! Tunggu aku di medan pertempuran setelah aku kembali nanti. ^_^.
Posting Komentar