Kisah ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan tokoh, cerita
dan latar tempat terjadinya peristiwa, itu hanyalah kebetulan semata.
Anisa tercinta…
Kutulis sepucuk surat ini saat
malam telah mencapai puncaknya. Seperti biasanya malam, tentunya ada bulan
bintang yang menemani. Tentunya juga ada suara hewan malam dan semilir
angin yang mengiringiku merangkai kata
ini. Inginku, mereka semua turut hadir saat kau membuka dan membaca surat ini.
Aku ingin nantinya bulan bintang menjadi penerang di setiap kata yang kau baca.
Aku ingin suara hewan malam menjadi back sound yang merdu di gendang
telingamu. Aku juga ingin semilir angin membelaimu mesra, sehingga kau tak
bosan untuk terus membaca.
Anisa tersayang…
Sebelum kusampaikan apa yang
sebenarnya ingin kusampaikan, ada baiknya kuceritakan kepadamu apa saja yang
kulakukan malam ini, sebelum akhirnya aku memilih menulis surat untukmu. Semoga
saja kau tak bosan untuk membacanya
Seperti biasa, malam ini aku
berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang seolah tak memberiku kesempatan untuk
sekadar bergerak. Waktu malam yang seharusnya untuk beristirahat, aku gunakan untuk
mengerjakan tugas kuliah yang sudah memanggil-memanggilku sejak sore tadi. Mata
yang sedari Isya’ sudah diserang kantuk, aku paksa untuk membaca “History Of
The Arab”, “Sejarah Peradaban Islam”, “Dinasti-Dinasti Islam”, dan
beberapa sumber referensi sejarah lainnya. Yah… inilah risiko seorang
mahasiswa, bukan begitu Nis??
Satu jam telah berlalu sejak aku
duduk di depan layar laptopku. Jari jemariku belum berhenti menginjak-nginjak
tuts keyboard. Sedangkan buku-buku sudah berserakan di kanan dan kiriku, ada yang
terbuka, ada yang masih tertutup, ada juga yang kertasnya sampai kucel, karena
aku bolak-balik dari satu jam yang lalu. Kau tahu, Nis? Saat itu, mataku
rasanya sudah tak mampu lagi untuk terjaga. Tubuh yang sedari pagi sampai sore
beraktivitas di kampus, rasanya sudah ingin beristirahat di atas kasur yang
empuk. Tetapi, sadar bahwa tugas belum selesai, maka aku paksa mata ini untuk tetap terjaga.
Baru sebentar saja setelah aku
paksa mata ini, rasa kantuk yang demikian hebatnya menyerang kembali, Nis. Saat
itu juga, aku beranjak dari tempat dudukku. Tiba-tiba aku teringat masih ada
sebungkus kopi sisa malam kemarin. Maka, secepat kilat aku memasak air. Setelah
mendidih, aku menuangkannya ke gelas yang sudah kutaruh kopi dan gula di
dalamnya. Hemmm…aroma kopi yang bertemu dengan air panas membuatku tak sabar
untuk mencicipinya. Segala puji bagi Tuhan
sekalian alam, Nis, mataku kembali berbinar setelah mencicipinya. Mataku seolah
mendapatkan kekuatan untuk tetap terjaga sampai tugas-tugasku selesai.
Setelah aku berhasil mengurai rasa
kantukku dengan secangkir kopi, aku kembali mengerjakan tugas yang sudah
menanti. Berbeda dengan tadi, kini tak ada lagi kantuk yang menggelantung di
kelopak mata ini. Hasrat untuk segera menyelesaikan tugasku menggelegar di
dada, sehingga lelah dan letih yang tadi kurasa, kini seolah menguap tak
tersisa. Degan semangat itu, akhirnya satu setengah jam kemudian tugasku
terselesaikan. Kau pasti tau, Nis, betapa bahagianya hatiku saat itu.
Selesai menyimpan file dan
mematikan laptop, aku kemudian beranjak ke kamar mandi untuk menggosok gigi.
Niatku setelah itu adalah merajut mimpi di atas kasur empuk. Aku pun menuju ke
kamar, merebahkan tubuhku di atas kasur yang terhampar. Lima sepuluh menit
berlalu, tetapi mata ini tak juga terpejam. Kantuk tak jua menyerangku kembali.
Ah, ini pasti gara-gara pengaruh kopi tadi, pikirku. Kemudian aku pejamkan mataku
kuat-kuat, tapi tetap sama. Aku tak bisa tidur. Tiba-tiba ada penyesalan yang
menelisik hatiku, mengapa tadi meneguk secangkir kopi hingga hanya tersisa
ampasnya saja?
Percaya atau tidak, di saat itulah
bayanganmu hadir di sini, Nis. Tepat di depan mataku. Senyum manismu, anggun
wajahmu tiba-tiba memenuhi otakku. Setiap kupandang sesuatu, di situlah ada
dirimu. Rak buku, jam beker kecilku, bingkai foto, dan langit-langit kamarku
dipenuhi wajahmu. Mungkin aku merindukanmu. Ya… aku merindukanmu, Nis. Aku
merindukan dirimu. Di saat itulah, muncul sebersit keinginan untuk menulis
surat ini. Mencurahkan apa yang selama ini kurasakan padamu. Hanya padamu.
Lama ku menimbang rasa, hingga
akhirnya aku mantapkan hati untuk menulis surat ini untukmu. Sungguh bukan
perkara mudah, untuk mengakui apa yang selama ini kurasakan dan hanya kupendam
sendirian. Telah lama aku menyimpan rasa ini, Nis. Sejak kau berikan senyuman
manismu di acara pelatihan kader muda organisasi yang kita ikuti 3 tahun silam,
sejak itulah rasa ini menyelusup halus ke dinding hatiku. Awalnya aku tak percaya bahwa aku telah jatuh hati padamu. Tapi
hasrat untuk bertemu denganmu setiap hari membuatku mengerti, bahwa kau telah
mencuri hati ini. Rindu adalah bukti dari cinta. Begitu pun sebaliknya. Dan aku benar-benar merindukanmu. Dari situlah
aku kemudian yakin, saat ini, dirimu lah yang menjadi ratu di istana hatiku.
Jika baru kali ini aku berani
mengungkapkan apa yang selama ini kurasakan, maka itu karena keadaan yang membuatku
melakukan itu. Kau tau, Nis? Kastaisasi dalam percintaan masih berlaku hingga
saat ini. Hingga selalu membuatku takut untuk mengungkapkan segala perasaanku
padamu. Aku sadar-sesadarnya, bahwa aku tak sepadan denganmu. Kau Ning, putri
seorang Kiai. Sedangkan aku? Ah, sungguh aku malu untuk menyebutkan siapa
diriku ini, Nis. Aku hanyalah anak seorang petani miskin yang berjuang
mati-matian untuk hidup dan membiayai kuliah dengan biaya sendiri.
Jikalau nanti, setelah kau baca
goresan tangan ini, kau bertanya padaku, mengapa aku mencintaimu. Sungguh aku
tak tahu harus kujawab apa. Bukan karena kau seorang putri kiai, aku
mencintaimu, bukan! Bukan juga karena
kau keturunan orang terpandang, bukan! Aku mencintaimu tanpa alasan, Nis. Aku
mencintaimu dengan tiba-tiba, hingga kusendiri tak menyadari bahwa ku telah
jatuh cinta. Aku mencintaimu tanpa mengharap balasan. Aku mencintaimu dengan
sebenar-benar cinta, setulus-tulus rindu, dan seikhlas-ikhlas sayang.
Nis, seandainya kau tau apa yang
aku rasakan saat ini, mungkin kau akan mengerti. Tapi tidak, Nis! Kau tak akan
pernah mengerti. Bahkan jika pena dan kertas yang kumiliki habis untuk
menuliskan tentang rasa ini, niscaya tak bisa menjelaskannya dengan sebenar-benarnya.
Ia bagaikan butiran-butiran salju yang menyejukkan tetapi terkadang mematikan. Sejak
ku sadar telah jatuh cinta padamu, aku sudah berusaha keras untuk membunuh
perasaan ini. Tetapi, semakin keras ku mencoba membunuhnya, semakin subur pula
rasa ini tumbuh di hati.
Annisaku tercinta…
Aku tak pernah berharap kau akan
membalas perasaan ini. Biarlah perasaan ini menjadi dosa terindah dalam
hidupku. Biarlah kisah ini menjadi bagian yang tak akan kulupakan dalam sejarah
perjalanan hidupku. Dan kamu, biarlah tetap menjadi peri kecil abahmu dan malaikat
terindah bagi calon suamimu yang telah mekhitbahmu beberapa waktu lalu. Hanya
satu yang kupinta, nanti jika kau telah menikah, jangan pernah lupakan aku.
Seorang yang pernah terpesona pada senyuman yang pernah kau berikan.
Dan surat ini, ah sungguh tak tau
malu rasanya jika aku kirimkan surat ini untukmu. Biarlah ia menjadi manuskrip
yang tersimpan rapi di buku catatanku dengan namamu yang tertulis indah di
sana, di hatiku juga.
*Di muat di
Malang Post, 17 Februari 2014
Blog Yang Bagus... :-)
BalasHapusSekilas Info CARA MENDAPATKAN UANG JUTA'AN RUPIAH DARI BLOG Anda.
Cara Mendapatkan Uang Dari Blog.
Manfaatkan blog anda untuk menghasilkan uang sampingan hingga juta'an rupiah/bulan. GAJI DIATAS UMR..!!!
Bagi yang berminat silakan Mendaftar melalui Link Blog dibawah ini.
Kunjungi Blog kami di http://newkerjaonline2013.blogspot.com/
Mksih. Ok mou lihat2 dulu
BalasHapusPosting Komentar