Rabu, 29 Agustus 2012

Sepotong Cerita di Kaki Senja


         Entah mulai darimana aku harus bercerita, aku tak tahu. Bingung. Aku sendiri tak percaya atas apa yang baru saja kualami. Lalu bagaimana kalian akan percaya pada diriku jika aku menceritakannya? Tapi, pena yang tergeletak disampingku menggoda nafsu menulisku. Ia terus saja memaksaku. Sungguh, andai ia bisa bicara mungkin ia akan berkata seperti ini.
         “Ayo Mad, sini sentuh aku. Raih aku. Gunakan aku untuk melampiaskan nafsu menulismu. Jangan kau pendam cerita yang harusnya kau kabarkan pada orang-orang. Ayo, cepat!!! waktumu tak banyak. Apa kau ingin suatu saat  penyesalan datang menghampirimu? Hanya gara-gara kau tak segera meraih dan menggunakanku untuk menceritakannya? Ayo apa yang kamu tunggu!?
         Layaknya orang yang terhipnotis. Aku segera bergerak mengambil pena yang terletak sekitar satu meter disampingku. Dengan cepat aku merangkai huruf demi huruf dan kata demi kata. Kaki Senja menjadi saksiku saat kuceritakan kisah ini.
***
07.15, 09 Mei 2012
         Aku terlambat bangun. Gelagapan, sudah pasti. Dengan cepat kubergerak. Berlari menuju kamar mandi, layaknya seorang tentara saat latihan perang. Tidak  sampai sepuluh menit aku sudah keluar dan mengganti bajuku. Aku bersenandung ria di depan cermin, menyanyikan salah satu lagu girl band negeri ini. Hatiku bahagia. Nanti siang, aku mendapatkan kesempatan untuk joy flight bersama pesawat favoritku, Sukhoi. Sukhoi adalah  pesawat tempur super canggih ciptaan Rusia. Tapi kali ini, Sukhoi yang akan kunaiki bukan Sukhoi sang pesawat tempur. Sukhoi yang akan kunaiki beda.  Ia pesawat sukhoi komersil pertama yang dioperasikan Rusia setelah jatunya Uni Soviet. Bisa dibayangkan kan, betapa bahagianya hatiku.
         Dengan terburu-buru aku berangkat ke tempat kerjaku. Oh ya… sampai  lupa, aku belum cerita tentang diriku. Kenalkan, aku Mamad. Aku seorang wartawan senior di majalah penerbangan terkemuka di Indonesia. Sebagai seorang wartawan, pena, kamera dan tetek bengeknya selalu menjadi teman sejatiku. Karena posisiku sebagai wartawan senior itulah, aku berkesempatan untuk menaiki Sukhoi Superjet 100. Apalagi jepretan kameraku sudah tidak diragukan lagi hasilnya. Maka ketika kantor majalahku mendapatkan undangan untuk terbang bersama Sukhoi secara cuma-cuma, akulah yang kemudian tampil memenuhi undangan tersebut.
         Aku seorang duda. Istriku meninggal lima tahun yang lalu. Tuhan lebih mencintai dan menyayangi istriku hingga ia  dipanggil menghadap-Nya. Sedangkan Pekerjaanku sebagai wartawan yang setiap waktu dikejar-kejar deadline menjadikanku tak sempat memikirkan penggantinya. Meski umurku sudah cukup untuk menikah lagi, tapi aku belum bisa  mendapatkan seorang wanita yang sepertinya. Sampai sekarang hatiku masih menjadi milik istriku. Aku jamin, seribu bidadari turun untuk mengambil hatiku darinya, niscaya takkan kuberikan secuil pun.
         Sungguh, aku sempat stres berat karena kematiannya. Tapi aku kemudian sadar. Ketetapan yang paling baik adalah ketetapan -Nya. Lalu untuk apa aku meratapinya? Maka dengan segera aku mencari kesibukan untuk melupakannya. Kemudian aku  mendapatkan pekerjaan sebagai seorang wartawan. Pekerjaan yang menguras waktu dan tenaga. Pekerjaan inilah yang kemudian mampu sedikit mengurangi kerinduan pada istriku tercinta. Dan sedikit demi sedikit aku mampu melupakannya, meski tak sepenuhnya bisa mengelak dari kerinduan akan senyumannya.
         Sesungguhnya aku tak bermaksud menceritakan tentang kehidupan asmaraku dan tentang istriku. Tapi, ketika akhir-akhir ini ia sering menemuiku dalam mimpi. Maka seketika itu, aku bernafsu untuk menceritakannya. Manusia mana yang tak suka ketika menceritakan tentang orang yang dicintainya? Tiga malam berturut-turut ia hadir dimimpiku. Aku tak tahu pertanda apa itu. Dalam mimpiku ia  nampak anggun sekali  dengan pakain putih bersih. Bagaikan seorang bidadari. Ia melambai-lambaikan tangannya padaku. Menghampiriku. Dan mengajakku terbang tinggi menjauhi bumi. Mimpi itu berulang sampai tiga malam. Dan selalu sama. Aku sungguh tak tahu apa arti dibalik mimpiku itu.
***
08.05, 09 Mei 2012
         Aku tiba dikantor. Dengan cepat kubergegas menuju ruang kerjaku. Maklum sekarang tempatku di kantor. Tidak seperti dulu. Sering loncat ke mana-mana. Hunting berita tanpa mengenal lelah. Kini, mungkin hanya sesekali aku akan turun ke lapangan. Jika ada berita super penting atau hanya untuk memenuhi nafsu petualanganku. Setelah meletakkan tas dan membuka switerku, dengan segera kunyalakan komputer. Aku lupa, kemarin ada opini menarik masuk ke emailku yang belum sempat aku baca. Judulnya cukup unik, “Pesawat Sukhoi dan Para Dewa di Senayan”. Apa hubungannya pesawat sukhoi dengan para dewa di senayan sana? Tanya hatiku.
         Dengan cepat kubaca dan kupahami kandungan opini itu. Emm… ternyata sang penulis ingin mengkritisi para dewa di senayan yang sukanya kluyuran, bikin aturan, menghambur-hamburkan uang dan hobinya main perempuan. Sang penulis menghubungkan rencana pembelian Pesawat Sukhoi Superjet 100 oleh TNI, dengan kasus pembelian pesawat tahun lalu yang harganya melambung ke lagit ke tujuh. Sang penulis berspekulasi bahwa hal tersebut mungkin akan terjadi lagi pada rencana pembelian Pesawat Sukhoi, jika tidak segera diantisipasi.
         Hari itu juga kuputuskan untuk menampilkan opini tersebut pada majalah edisi minggu depan. Dengan senyum mengembang kulirik jam tangan yang melingkar di tanganku. “Cepatlah berputar kawan, aku sudah tak sabar melukis sejarah baru dalam hidupku. Aku sudah tak sabar ingin menaiki pesawat favoritku. Ucakpu lirih.
***
11.10, 09 Mei 2012
         Handphoneku berdering. Satu pesan diterima.
            “Mad, makan siang diluar yuk… aku tunggu di loby kantor.”
            Aku tersenyum membaca pesan dari sobatku, Rafi. Dengan cepat kubergegas keluar. Di loby aku lihat Rafi sedang menungguku.
         “Hey… tumben mengajak makan keluar Fi, ada apa?” Tanyaku padanya
         “Nggak ada apa-apa mad, aku hanya ingin cari suasana baru aja. Boring, di kantor melulu.” Hehe.
         “Owwh, ya… ya… sebenarnya tadi aku juga ingin ngajak kamu makan siang di luar. E… malah kamunya sudah sms dulu, ya udah. Satu hati satu tujuan.” Hahaha. Selorohku.
         “Haha… kamu bisa aja mad. Kalau gitu kamu yang ntraktir ya…?” Hehe
         “Huuu, dasar wartawan kere… kamu yang ngajak keluar, malah aku yang disuruh ntraktir.
Tapi, nggak apa-apalah, sebagai salam perpisahan.” Ujarku spontan.
         “Perpisahan? Memangnya  mau pergi ke mana mad?” Ujarnya dengan mimik serius.
         “Hahaha… sore nanti aku akan terbang tinggi bersama Sukhoi, pesawat favoritku.”
         “Asem, tak kirain mau kemana. Ingat kalau mau pergi jangan lupa bayar utang dulu Mad. Siapa tau nanti kamu nggak kembali.” Hahaha
         “Sialan kau, ya sudah nanti aku  bayar lunas utang-utangku plus bunganya.”wkwkwk
         Hari itu, kunikmati makan siangku bersama sobat karibku. Entah mengapa, makan siang kali ini kurasakan nikmat sekali. Padahal lauknya biasa-biasa saja. Tapi sungguh kurasakan nikmat yang belum pernah kurasakan. Tiba-tiba ada rasa takut yang menyelusup lembut di hati.
         “Bagaimana kalau aku benar-benar tidak kembali lagi kesini?” tanyaku dalam hati.
***
13.58, 19 Mei 2012
         “Aku merindukanmu Lis…”
         “Aku juga Kang Mas…” Ujarnya dengan mimik menggoda
         “Kamu bohong Lis!!! Mengapa kau tidak memelukku seperti dulu saat kau merindukanku, mengapa kau malah menjauh dariku.”
         “Karena dunia kita telah beda Mas… kita tak mungkin bisa bersama lagi.”
         “Tapi aku sangat merindukanmu Lis, kau tau kan? Setelah kau tinggal pergi, tak ada satu wanita pun yang mampu meluluhkan hatiku.”
         “Aku tau Mas, aku juga sangat merindukanmu.”
         “Kapan kita akan bersama lagi Lis…?”
         “Sebentar lagi Mas, sebentar lagi kita akan bersama kembali.”
         “Lis… Lis… jangan pergi. Lis….!!!
         “Mad, bangun Mad!”
         “A… a… ada apa Fi…” Tanyaku gelagapan sambil kepalaku celingukan ke segala penjuru mata angin.
         “Dasar!!! kamu ngigau lagi. Memanggil-manggil nama istrimu.”
         Oh… ternyata hanya mimpi. Huft…. Ujarku dalam hati.
         “Memangnya mimpi apa dengan istrimu Mad?”
         “Rahasia dong… mau tahu saja kamu.”
         “Hahaha… mimpi bercinta ya Mad.”
         “Edan…! mulai ngaco kamu Fi….”            
         “Hahaha… sory Mad. Just kidding Bro. Ya sudah sana, mendingan kamu cepetan mandi. Sudah hampir jam dua nih, kamu sebentar lagi akan terbang bersama Sukhoimu jam tiga nanti.
         “Oh… ya. Makasih kawan sudah diingetin.”
         Aku lalu beranjak ke kamar mandi. “Mimpi istriku lagi, ada apa ini Robbi? Katanya sebentar lagi aku akan bersamanya. Maksutnya apa? Ah… aku bingung.”
***
14.40, 19 Mei 2012
         Aku tiba di bandara Halim Perdana Kusuma. Ku lihat, Sukhoi dengan gagah unjuk gigi di landasan. Ku lihat juga banyak orang yang mengelilinginya. Para teknisi sedang memeriksa kondisinya. Maklum, tadi habis mengudara. Sebenarnya, joy flight yang aku ikuti ini adalah yang kedua kalinya. Tadi, sekitar jam sebelasan Sukhoi telah mengudara dengan sukses dan gemilang. Dan sebentar lagi Sukhoi akan mengudara kembali.
         Tanpa ba, bi, bu, aku segera memotret sukhoi dari kejauhan. Kurang puas. Aku lalu mendekat. Setelah bertegur sapa dengan kawan-kawan yang akan ikut penerbangan ini, aku melanjutkan aktivitas memotretku. Maklum, jika sudah memegang kamera, aku tak peduli dengan semuanya. Bahkan keadaan di sekelilingku. Ku tinggalkan kerumunan orang yang bersiap-siap terbang. Aku mengelilingi Sukhoi. Mengabadikan setiap inci bentuk lekuk tubuhnya.
         Puas menelanjangi sukhoi, aku tertawa senang. Kulihat hasil jepretanku sempurna. Aku lalu menuju ke dekat orang-orang yang berkerumunan tadi. Karena sebentar  lagi penerbangan akan segera dimulai. “Akhirnya, sebentar lagi aku akan terbang bersama pesawat favoritku.” Ujarku lirih sambil melirik jam tangan yang melingkar manis di tanganku.
***
15.05, 19 Mei 2012
         “Perhatian bagi penumpang, harap pakai sabuk pengaman dan lipat meja di depan Anda. Penerbangan dengan Pesawat Sukhoi Super Jet 100 akan segera dimulai. Penerbangan ini akan berlangsung selama 30 menit. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih”
         Suara merdu pramugari mengiringi burung besi Sukhoi melangit. Betapa senangnya hatiku sore itu. Bukan hanya diriku, orang-orang yang terbang bersama Sukhoi juga senang, mungkin. Lihatlah, mereka tersenyum bangga. Tadi, sebelum terbang, mereka asyik berpose dengan ceria. gaya demi gaya di depan kamera mereka tunjukkan. Senyuman termanis tersungging dengan indahnya di bibir mereka.
         Mungkin mereka sudah tak sabar ingin menceritakan pengalaman naik pesawat ini kepada dunia. Mungkin juga mereka tak ingin turun dari pesawat ini. Perhatikanlah dari atas sini,  betapa indahnya bumi nusantara ini. Gunung-gunung tinggi menjulang, pepohonan melambai-lambai menggoda setiap mata yang memandang. Sungguh, dari angkasa negeri ini  bak surga. Menurutku, negeri ini adalah potongan tanah Surga dengan segala keindahannya.
         Tapi Sayang sekali, orang-orang yang berkuasa di singgasana tak mampu merawat dan menjaganya. Mereka tak mampu menyejahterakan rakyat dengan kekayaan alam negeri ini. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Mereka lupa bahwa kekuasaan adalah titipan Tuhan. mereka lupa atau melupa, bahwa Tuhan selalu mengawasi gerak-gerik setiap makluknya.
         Ah… sungguh merugi, seorang pemimpin yang tidak mampu mengayomi, melindungi, dan menyejahterkan  rakyatnya. Pemimpin adalah wakil Tuhan, seharusnya mereka menjadi wakil yang baik. Semoga suatu saat nanti, negeri ini mempunyai pemimpin yang akan menjadi wakil Tuhan yang baik, dan mengetahui untuk apa ia menjadi pemimpin.                                                                        
***
15. 25, 19 Mei 2012
         “Mas, bangun Mas… sebentar lagi kita akan bersama. Bangun Mas, sambutlah pertemuan yang kau rindukan ini dengan senyuman.”
         Suara Lis mengirimkan aku kembali kedunia nyata. Tadi aku tertidur tanpa sengaja. Dan sekali lagi, aku bermimpi tentang istriku. Tapi kali ini hanya suaranya yang ke dengar. Ada apa gerangan. Mengapa ia bilang bahwa sebentar lagi aku akan segera bersamanya? Apa arti dari mimpi itu. Keringat bercucuran dari wajahku. Aku lihat para penumpang masih asyik memanjakan mata mereka. Mengarungi keindahan pulau nusantara dari angkasa. Kulihat jarum jam yang melingkar manis di tanganku. “Masih setengah jam lagi”, gumanku lirih.
         Aku hendak memejamkan mataku kembali, ketika salah satu pramugari mengatakan bahwa, penerbangan sedang dalam keadaan darurat. Pesawat Sukhoi Super Jet terjebak dalam kubangan awan dan kabut tebal di puncak gunung salak. Sontak aku kaget setengah mati. bagaimana cuaca bisa berubah secepat itu? padahal tadi baru saja kulihat para penumpang masih memanjakan mata mereka dengan pemandangan dari atas sini. Masih kudengar sayup-sayup suara pramugari yang meghibur para penumpang untuk tetap tenang, ketika kulihat bayangan Lis tersenyum di kaca jendela pesawat. Bayangan Lis kemudian hilang tersapu awan.
         Kalimat penghibur yang diucapkan pramugari tak mampu menenangkan para penumpang, suara takbir menggema di dalam pesawat. Pekik ketakutan terdengar jelas dari jeritan mereka. Aku hanya diam membisu menghadapi kenyataan itu. Kenangan demi kenangan dalam hidupku  tiba-tiba hadir dipelupuk mata. Aku menyaksikan kembali dengan jelas peristiwa-peristiwa yang pernah aku lalui. Kenangan-kenangan tersebut berkelebat tanpa aturan. Aku menyandarkan kepalaku ke bangku pesawat. Aku sudah tak kuat lagi. Pusing!
         Suasana di dalam pesawat semakin tak kondusif. Para penumpang ada yang nekat berdiri. Melepaskan sabuk pengaman. Pramugari yang mencoba melarang dengan pengeras suara semakin membuat suasana tak karuan. Ku lihat, sang pilot masih konsentrasi dengan kemudian pesawat. Mencoba mencari jalan keluar dari kepungan kabut dan awan yang mengelilingi tubuh pesawat. Sungguh, pemandangan bumi nusantara yang tadi terlihat mempesona tak lagi nampak dari kaca jendela pesawat. Yang terlihat hanyalah segerombolan awan hitam disetiap sudut kaca.
         Kemudian kudengar dengan jelas suara pilot yang meminta izin untuk turun dari ketinggian 10000 ke 6000 kaki. Aku yang sedikit tahu tentang penerbangan, kaget mendegar hal itu. bukankah keputusan itu beresiko tinggi? Mengingat pesawat berada di medan pegunungan salak yang memiliki ketinggina di atas 6000 kaki, gumanku dalam hati. Aku tak tahu alasan apa yang membuat sang pilot mengambil keputusan itu. Tapi yang jelas tak ada pilot yang ingin mencelakakan dirinya sendiri dan penumpangnya.
         Lima menit setelah permintaan izin tersebut dikabulkan, kudengar pekikan sang pilot berteriak menyebut nama Tuhan dalam bahasa rusia. Kemudian, Crasssshhh.... duarrr…. Semuanya terlihat hitam, kelam, dan pekat.
***
         Senja masih bertengger di Puncak Gunung Salak ketika kuselesaikan cerita ini. Kusandarkan kepalaku pada pohon akasia yang ada didekatku. Kuletakkan pena dan buku kecilku di atas rerumputan di sampingku. Bau anyir darah mulai menusuk hidung. Bau ini bisa mengundang bahaya, hewan-hewan buas Gunung Salak akan datang ke sini, ujarku dalam hati. Dengan segala kekuatan yang tersisa, aku bergerak menuju bangkai pesawat yang telah luluh lantah. Bangkai pesawat berada sekitar lima puluh meter dari tempatku. Tujuanku hanya satu, menaruh buku catatan kesayangku di dekat bangkai pesawat. Jika malam ini aku tidak selamat, semoga nanti ada orang yang menemukan bukuku dan membaca ceritaku, fikirku.
         Setelah menaruh buku dan penaku, ingin rasanya aku kembali ke tempatku semula. Tapi, kekuatanku sudah tak tersisa lagi. Dengan pasrah aku bersandar pada puing-puing pesawat. Mulai kuperhatikan keadaan disekililingku. Bulir-bulir suci keluar dar kelopak mataku. Betapa dahsyatnya kecelakaan yang baru saja kualami. Kulihat dengan jelas, jenazah-jenazah yang sudah tak berbentuk lagi. Ada yang tertimbun tanah, hanya kakinya yang terlihat. Ada yang kepalanya pecah tak beraturan.
         Bau anyir darah semakin memenuhi udara disekililingku. Air mataku semakin keluar dengan derasnya, ketika kulihat lagi jenazah-jenazah para korban. Oh… Betapa bahagianya mereka saat akan naik pesawat ini. Masih jelas terlihat senyuman mereka kala berpose di depan kamera sebelum terbang. Kini, mereka telah pergi bertemu sang Illahi. Oh Tuhan… semoga engkau ampuni dosa-dosa mereka, dan semoga engkau tempatkan mereka di sisi-Mu, ujarku lirih.
         Aku kemudian teringat dengan istriku, Lis. Dengan cepat aku kembali ingat dirinya yang mendatangiku dalam mimpi berkali-kali. Tiga malam berturut-turut ia hadir dalam mimpiku. Lalu ia juga hadir ketika aku tidur di kantor. Ia hadir kembali saat tanpa sengaja aku tertidur dalam pesawat.  Dan yang terakhir, kulihat wajahnya di kaca jendela pesawat. aku masih ingat dengan jelas, saat ia berkata bahwa sebentar lagi aku akan bersamanya. Ah… betapa bodohnya aku, yang tak tahu semua itu adalah firasat yang diberikan Tuhan untukku.
         Tapi, aku masih belum tahu apa maksudnya Lis mengatakan bahwa sebentar lagi aku akan bersamanya? Ah, kepalaku semakin pening memikirkan hal itu. Biarlah waktu nanti yang menjawabnya. Karena waktu tidak pernah berdusta.
         Belum juga terjawab pertanyaanku, tiba-tiba ada bau wewangian yang menyelusup hidungku. Semakin lama, bau itu semakin terasa. Ada apa ini? Fikirku. Apa bau ini keluar dari tubuh para jenazah. Atau bau ini keluar dari parfum milik para penumpang yang tumpah. Ah, tidak. Jika memang ini bau parfum yang tumpah, mengapa tadi yang kurasa bau anyir darah. apa yang sebenarnya terjadi?
         Sekali lagi, belum juga terjawab pertanyaanku, tiba-tiba tempat disekelilingku menjadi terang benderang. Padahal jelas, sang mentari sudah tidak menampakkan dirinya lagi. Yang tersisa hanya riak-riak cahayanya yang dititipkan pada senja. Dan sungguh, cahaya sisa itu takkan mampu menjadikan tempat disekelilingku terang seperti siang hari. Semerbak wangi kembang setaman melengkapi keanehan yang kualami.
         Keanehan yang kualami masih belum berhenti. Dari kejauhan, samar-samar kulihat seorang gadis berjalan menghampiriku. Ia memakai gaun putih dengan mahkota permata yang berkilauan. Seuntai senyuman yang bertengger di wajahnya, semakin menambah keanggunanya. Semakin ia mendekat, bau wewangian semakin terasa menusuk-menusuk hidungku. Dan sungguh, betapa terkejutnya aku, ketika wanita itu adalah istriku sendiri, Lis.
         “Jangan terkejut seperti itu Mas.” ujarnya dengan senyuman.
         “Me… me… mengapa kau di sini Lis…”
         “Bukankah telah kukatakan bahwa sebentar lagi kita akan bersama Mas, aku di sini untuk menjemput Mas.”
         “Aku memang ingin bersamamu Lis, tapi seperti katamu dalam mimpi kemarin, dunia kita masih berbeda Lis…”
         Ia tersenyum mendengar ucapanku.
         “Apa Mas belum sadar juga bahwa dunia kita sudah sama Mas?”
         “Apa katamu Lis…?”
         “Kini dunia kita sudah sama Mas, sejak pesawat yang Mas naiki menabrak salah satu puncak Gunung Salak beberapa menit yang lalu.”
         Betapa terkejutnya aku mendengar ucapan istriku. Benarkah aku telah mati? Tanyaku dalam hati.
         “Ji… jika memang aku telah mati Lis, mengapa aku masih bisa menulis cerita dan menyelesaikannya?” ujarku dengan tergagap.
         “Semua itu karena keinginan kuat dalam diri Mas yang ingin menceritakan dan memberitahukan peristiwa kecelakaan Pesawat Sukhoi ini pada semua orang mas. Keinginan kuat disertai keyakinan yang kuat pula akan mengguncang Arsy Tuhan Mas. Tuhan pun akan mengabulkan apa yang menjadi keinginan yang diyakini hamba-hamba-Nya.”
         “Jika memang yang kau katakan  benar, tunjukkan mana jasadku Lis. Aku ingin melihatnya, sebelum aku pergi bersamamu.”
         “Mari Mas, Ikut aku” Ujarnya sambil mengulurkan tangannya.
         Aku pun menyambutnya. Aneh. Seketika bajuku berubah menjadi putih setelah menyentuh tangannya. Dengan secepat kilat aku dibawanya terbang. Menyingkap dedaunan. Beberapa detik kemudian sampailah di tempat dimana potongan sayap Pesawat Sukhoi berada.  Kulihat asap masih sedikit mengepul pada ujung potongan tersebut. Lalu kuarahkan pandanganku di sekelilingnya. Sungguh hatiku ingin menjerit, ketika mata ini menemukan apa yang kucari. Seonggok jenazah terlihat gosong bagian bawahnya. Masih utuh. Hanya saja, bajunya sobek dengan bercak-bercak darah. Di dekatnya, sebuah kamera tergeletak tak berdaya. Aku tak kuasa membendung air mataku untuk tidak tumpah, ketika melihat jasadku sendiri dalam keadaan yang sungguh bikin orang ngeri.
         “Sudahlah Mas, tak perlu ditangisi. Semuanya sudah menjadi kehendak-Nya. Semoga peristiwa ini menjadi pelajaran bagi bangsa kita. Terutama para pemimpin kita. Mari Mas, sudah waktunya. Biarlah nanti cerita yang Mas tulis yang memberitahukan tentang peristiwa ini.”
         Dengan anggukan kepala aku mengiyakan ajakan Lis. Lalu ia menggandengku. Sekali lagi, aku diajaknya terbang tinggi. Semakin jauh dan jauh. Hingga semuanya tak terlihat lagi.

          Garawiksa, 25 Mei 2012

2 komentar: