Entah
mulai darimana aku harus bercerita, aku tak tahu. Bingung. Aku sendiri tak percaya
atas apa yang baru saja kualami. Lalu bagaimana kalian akan percaya pada diriku
jika aku menceritakannya? Tapi, pena yang tergeletak disampingku menggoda nafsu
menulisku. Ia terus saja memaksaku. Sungguh, andai ia bisa bicara mungkin ia
akan berkata seperti ini.
“Ayo
Mad, sini sentuh aku. Raih aku. Gunakan aku untuk melampiaskan nafsu menulismu.
Jangan kau pendam cerita yang harusnya kau kabarkan pada orang-orang. Ayo,
cepat!!! waktumu tak banyak. Apa kau ingin suatu saat penyesalan datang menghampirimu? Hanya
gara-gara kau tak segera meraih dan menggunakanku untuk menceritakannya? Ayo
apa yang kamu tunggu!?
Layaknya
orang yang terhipnotis. Aku segera bergerak mengambil pena yang terletak
sekitar satu meter disampingku. Dengan cepat aku merangkai huruf demi huruf dan
kata demi kata. Kaki Senja menjadi saksiku saat kuceritakan kisah ini.
***
07.15, 09 Mei 2012
Aku
terlambat bangun. Gelagapan, sudah pasti. Dengan cepat kubergerak. Berlari menuju
kamar mandi, layaknya seorang tentara saat latihan perang. Tidak sampai sepuluh menit aku sudah keluar dan
mengganti bajuku. Aku bersenandung ria di depan cermin, menyanyikan salah satu
lagu girl band negeri ini. Hatiku bahagia. Nanti siang, aku mendapatkan
kesempatan untuk joy flight bersama pesawat favoritku, Sukhoi. Sukhoi
adalah pesawat tempur super canggih
ciptaan Rusia. Tapi kali ini, Sukhoi yang akan kunaiki bukan Sukhoi sang
pesawat tempur. Sukhoi yang akan kunaiki beda.
Ia pesawat sukhoi komersil pertama yang dioperasikan Rusia setelah
jatunya Uni Soviet. Bisa dibayangkan kan, betapa bahagianya hatiku.
Dengan
terburu-buru aku berangkat ke tempat kerjaku. Oh ya… sampai lupa, aku belum cerita tentang diriku.
Kenalkan, aku Mamad. Aku seorang wartawan senior di majalah penerbangan
terkemuka di Indonesia. Sebagai seorang wartawan, pena, kamera dan tetek bengeknya
selalu menjadi teman sejatiku. Karena posisiku sebagai wartawan senior itulah, aku
berkesempatan untuk menaiki Sukhoi Superjet 100. Apalagi jepretan kameraku
sudah tidak diragukan lagi hasilnya. Maka ketika kantor majalahku mendapatkan
undangan untuk terbang bersama Sukhoi secara cuma-cuma, akulah yang kemudian
tampil memenuhi undangan tersebut.
Aku
seorang duda. Istriku meninggal lima tahun yang lalu. Tuhan lebih mencintai dan
menyayangi istriku hingga ia dipanggil
menghadap-Nya. Sedangkan Pekerjaanku sebagai wartawan yang setiap waktu
dikejar-kejar deadline menjadikanku tak sempat memikirkan penggantinya. Meski
umurku sudah cukup untuk menikah lagi, tapi aku belum bisa mendapatkan seorang wanita yang sepertinya. Sampai
sekarang hatiku masih menjadi milik istriku. Aku jamin, seribu bidadari turun untuk
mengambil hatiku darinya, niscaya takkan kuberikan secuil pun.
Sungguh,
aku sempat stres berat karena kematiannya. Tapi aku kemudian sadar. Ketetapan
yang paling baik adalah ketetapan -Nya. Lalu untuk apa aku meratapinya? Maka
dengan segera aku mencari kesibukan untuk melupakannya. Kemudian aku mendapatkan pekerjaan sebagai seorang
wartawan. Pekerjaan yang menguras waktu dan tenaga. Pekerjaan inilah yang
kemudian mampu sedikit mengurangi kerinduan pada istriku tercinta. Dan sedikit
demi sedikit aku mampu melupakannya, meski tak sepenuhnya bisa mengelak dari
kerinduan akan senyumannya.
Sesungguhnya
aku tak bermaksud menceritakan tentang kehidupan asmaraku dan tentang istriku.
Tapi, ketika akhir-akhir ini ia sering menemuiku dalam mimpi. Maka seketika
itu, aku bernafsu untuk menceritakannya. Manusia mana yang tak suka ketika
menceritakan tentang orang yang dicintainya? Tiga malam berturut-turut ia hadir
dimimpiku. Aku tak tahu pertanda apa itu. Dalam mimpiku ia nampak anggun sekali dengan pakain putih bersih. Bagaikan seorang
bidadari. Ia melambai-lambaikan tangannya padaku. Menghampiriku. Dan mengajakku
terbang tinggi menjauhi bumi. Mimpi itu berulang sampai tiga malam. Dan selalu
sama. Aku sungguh tak tahu apa arti dibalik mimpiku itu.
***
08.05, 09 Mei 2012
Aku
tiba dikantor. Dengan cepat kubergegas menuju ruang kerjaku. Maklum sekarang
tempatku di kantor. Tidak seperti dulu. Sering loncat ke mana-mana. Hunting
berita tanpa mengenal lelah. Kini, mungkin hanya sesekali aku akan turun ke
lapangan. Jika ada berita super penting atau hanya untuk memenuhi nafsu
petualanganku. Setelah meletakkan tas dan membuka switerku, dengan segera
kunyalakan komputer. Aku lupa, kemarin ada opini menarik masuk ke emailku yang
belum sempat aku baca. Judulnya cukup unik, “Pesawat Sukhoi dan Para Dewa di
Senayan”. Apa hubungannya pesawat sukhoi dengan para dewa di senayan sana?
Tanya hatiku.
Dengan
cepat kubaca dan kupahami kandungan opini itu. Emm… ternyata sang penulis ingin
mengkritisi para dewa di senayan yang sukanya kluyuran, bikin aturan, menghambur-hamburkan
uang dan hobinya main perempuan. Sang penulis menghubungkan rencana pembelian Pesawat
Sukhoi Superjet 100 oleh TNI, dengan kasus pembelian pesawat tahun lalu yang
harganya melambung ke lagit ke tujuh. Sang penulis berspekulasi bahwa hal
tersebut mungkin akan terjadi lagi pada rencana pembelian Pesawat Sukhoi, jika
tidak segera diantisipasi.
Hari
itu juga kuputuskan untuk menampilkan opini tersebut pada majalah edisi minggu
depan. Dengan senyum mengembang kulirik jam tangan yang melingkar di tanganku.
“Cepatlah berputar kawan, aku sudah tak sabar melukis sejarah baru dalam
hidupku. Aku sudah tak sabar ingin menaiki pesawat favoritku. Ucakpu lirih.
***
11.10, 09 Mei 2012
Handphoneku
berdering. Satu pesan diterima.
“Mad, makan siang diluar yuk… aku
tunggu di loby kantor.”
Aku tersenyum membaca pesan dari
sobatku, Rafi. Dengan cepat kubergegas keluar. Di loby aku lihat Rafi sedang
menungguku.
“Hey…
tumben mengajak makan keluar Fi, ada apa?” Tanyaku padanya
“Nggak
ada apa-apa mad, aku hanya ingin cari suasana baru aja. Boring, di kantor
melulu.” Hehe.
“Owwh,
ya… ya… sebenarnya tadi aku juga ingin ngajak kamu makan siang di luar.
E… malah kamunya sudah sms dulu, ya udah. Satu hati satu tujuan.” Hahaha.
Selorohku.
“Haha…
kamu bisa aja mad. Kalau gitu kamu yang ntraktir ya…?” Hehe
“Huuu,
dasar wartawan kere… kamu yang ngajak keluar, malah aku yang disuruh
ntraktir.
Tapi, nggak apa-apalah,
sebagai salam perpisahan.” Ujarku spontan.
“Perpisahan?
Memangnya mau pergi ke mana mad?”
Ujarnya dengan mimik serius.
“Hahaha…
sore nanti aku akan terbang tinggi bersama Sukhoi, pesawat favoritku.”
“Asem,
tak kirain mau kemana. Ingat kalau mau pergi jangan lupa bayar utang dulu Mad.
Siapa tau nanti kamu nggak kembali.” Hahaha
“Sialan
kau, ya sudah nanti aku bayar
lunas utang-utangku plus bunganya.”wkwkwk
Hari
itu, kunikmati makan siangku bersama sobat karibku. Entah mengapa, makan siang kali
ini kurasakan nikmat sekali. Padahal lauknya biasa-biasa saja. Tapi sungguh
kurasakan nikmat yang belum pernah kurasakan. Tiba-tiba ada rasa takut yang
menyelusup lembut di hati.
“Bagaimana
kalau aku benar-benar tidak kembali lagi kesini?” tanyaku dalam hati.
***
13.58, 19 Mei 2012
“Aku
merindukanmu Lis…”
“Aku
juga Kang Mas…” Ujarnya dengan mimik menggoda
“Kamu
bohong Lis!!! Mengapa kau tidak memelukku seperti dulu saat kau merindukanku,
mengapa kau malah menjauh dariku.”
“Karena
dunia kita telah beda Mas… kita tak mungkin bisa bersama lagi.”
“Tapi
aku sangat merindukanmu Lis, kau tau kan? Setelah kau tinggal pergi, tak ada
satu wanita pun yang mampu meluluhkan hatiku.”
“Aku
tau Mas, aku juga sangat merindukanmu.”
“Kapan
kita akan bersama lagi Lis…?”
“Sebentar
lagi Mas, sebentar lagi kita akan bersama kembali.”
“Lis…
Lis… jangan pergi. Lis….!!!
“Mad,
bangun Mad!”
“A…
a… ada apa Fi…” Tanyaku gelagapan sambil kepalaku celingukan ke segala penjuru
mata angin.
“Dasar!!!
kamu ngigau lagi. Memanggil-manggil nama istrimu.”
Oh…
ternyata hanya mimpi. Huft…. Ujarku dalam hati.
“Memangnya
mimpi apa dengan istrimu Mad?”
“Rahasia
dong… mau tahu saja kamu.”
“Hahaha…
mimpi bercinta ya Mad.”
“Edan…! mulai ngaco kamu Fi….”
“Hahaha…
sory Mad. Just kidding Bro. Ya sudah sana, mendingan kamu cepetan mandi.
Sudah hampir jam dua nih, kamu sebentar lagi akan terbang bersama Sukhoimu jam
tiga nanti.
“Oh…
ya. Makasih kawan sudah diingetin.”
Aku
lalu beranjak ke kamar mandi. “Mimpi istriku lagi, ada apa ini Robbi? Katanya
sebentar lagi aku akan bersamanya. Maksutnya apa? Ah… aku bingung.”
***
14.40, 19 Mei
2012
Aku tiba di
bandara Halim Perdana Kusuma. Ku lihat, Sukhoi dengan gagah unjuk gigi di
landasan. Ku lihat juga banyak orang yang mengelilinginya. Para teknisi sedang
memeriksa kondisinya. Maklum, tadi habis mengudara. Sebenarnya, joy flight
yang aku ikuti ini adalah yang kedua kalinya. Tadi, sekitar jam sebelasan Sukhoi
telah mengudara dengan sukses dan gemilang. Dan sebentar lagi Sukhoi akan
mengudara kembali.
Tanpa
ba, bi, bu, aku segera memotret sukhoi dari kejauhan. Kurang puas. Aku lalu
mendekat. Setelah bertegur sapa dengan kawan-kawan yang akan ikut penerbangan
ini, aku melanjutkan aktivitas memotretku. Maklum, jika sudah memegang kamera,
aku tak peduli dengan semuanya. Bahkan keadaan di sekelilingku. Ku tinggalkan
kerumunan orang yang bersiap-siap terbang. Aku mengelilingi Sukhoi.
Mengabadikan setiap inci bentuk lekuk tubuhnya.
Puas
menelanjangi sukhoi, aku tertawa senang. Kulihat hasil jepretanku sempurna. Aku
lalu menuju ke dekat orang-orang yang berkerumunan tadi. Karena sebentar lagi penerbangan akan segera dimulai.
“Akhirnya, sebentar lagi aku akan terbang bersama pesawat favoritku.” Ujarku
lirih sambil melirik jam tangan yang melingkar manis di tanganku.
***
15.05, 19 Mei 2012
“Perhatian
bagi penumpang, harap pakai sabuk pengaman dan lipat meja di depan Anda. Penerbangan
dengan Pesawat Sukhoi Super Jet 100 akan segera dimulai. Penerbangan ini akan
berlangsung selama 30 menit. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih”
Suara
merdu pramugari mengiringi burung besi Sukhoi melangit. Betapa senangnya hatiku
sore itu. Bukan hanya diriku, orang-orang yang terbang bersama Sukhoi juga
senang, mungkin.
Lihatlah, mereka tersenyum bangga. Tadi, sebelum terbang, mereka asyik berpose
dengan ceria. gaya demi gaya di depan kamera mereka tunjukkan. Senyuman
termanis tersungging dengan indahnya di bibir mereka.
Mungkin
mereka sudah tak sabar ingin menceritakan pengalaman naik pesawat ini kepada
dunia. Mungkin juga mereka tak ingin turun dari pesawat ini. Perhatikanlah dari
atas sini, betapa indahnya bumi
nusantara ini. Gunung-gunung tinggi menjulang, pepohonan melambai-lambai
menggoda setiap mata yang memandang. Sungguh, dari angkasa negeri ini bak surga. Menurutku, negeri ini adalah
potongan tanah Surga dengan segala keindahannya.
Tapi
Sayang sekali, orang-orang yang berkuasa di singgasana tak mampu merawat dan
menjaganya. Mereka tak mampu menyejahterakan rakyat dengan kekayaan alam negeri
ini. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Mereka lupa bahwa kekuasaan adalah
titipan Tuhan. mereka lupa atau melupa, bahwa Tuhan selalu mengawasi
gerak-gerik setiap makluknya.
Ah…
sungguh merugi, seorang pemimpin yang tidak mampu mengayomi, melindungi, dan
menyejahterkan rakyatnya. Pemimpin
adalah wakil Tuhan, seharusnya mereka menjadi wakil yang baik. Semoga suatu
saat nanti, negeri ini mempunyai pemimpin yang akan menjadi wakil Tuhan yang
baik, dan mengetahui untuk apa ia menjadi pemimpin.
***
15. 25, 19 Mei 2012
“Mas,
bangun Mas… sebentar lagi kita akan bersama. Bangun Mas, sambutlah pertemuan
yang kau rindukan ini dengan senyuman.”
Suara Lis
mengirimkan aku kembali kedunia nyata. Tadi aku tertidur tanpa sengaja. Dan
sekali lagi, aku bermimpi tentang istriku. Tapi kali ini hanya suaranya yang ke
dengar. Ada apa gerangan. Mengapa ia bilang bahwa sebentar lagi aku akan segera
bersamanya? Apa arti dari mimpi itu. Keringat bercucuran dari wajahku. Aku
lihat para penumpang masih asyik memanjakan mata mereka. Mengarungi keindahan
pulau nusantara dari angkasa. Kulihat jarum jam yang melingkar manis di
tanganku. “Masih setengah jam lagi”, gumanku lirih.
Aku
hendak memejamkan mataku kembali, ketika salah satu pramugari mengatakan bahwa,
penerbangan sedang dalam keadaan darurat. Pesawat Sukhoi Super Jet terjebak
dalam kubangan awan dan kabut tebal di puncak gunung salak. Sontak aku kaget
setengah mati. bagaimana cuaca bisa berubah secepat itu? padahal tadi baru saja
kulihat para penumpang masih memanjakan mata mereka dengan pemandangan dari
atas sini. Masih kudengar sayup-sayup suara pramugari yang meghibur para
penumpang untuk tetap tenang, ketika kulihat bayangan Lis tersenyum di kaca
jendela pesawat. Bayangan Lis kemudian hilang tersapu awan.
Kalimat
penghibur yang diucapkan pramugari tak mampu menenangkan para penumpang, suara
takbir menggema di dalam pesawat. Pekik ketakutan terdengar jelas dari jeritan
mereka. Aku hanya diam membisu menghadapi kenyataan itu. Kenangan demi kenangan
dalam hidupku tiba-tiba hadir dipelupuk
mata. Aku menyaksikan kembali dengan jelas peristiwa-peristiwa yang pernah aku
lalui. Kenangan-kenangan tersebut berkelebat tanpa aturan. Aku menyandarkan
kepalaku ke bangku pesawat. Aku sudah tak kuat lagi. Pusing!
Suasana
di dalam pesawat semakin tak kondusif. Para penumpang ada yang nekat berdiri.
Melepaskan sabuk pengaman. Pramugari yang mencoba melarang dengan pengeras
suara semakin membuat suasana tak karuan. Ku lihat, sang pilot masih
konsentrasi dengan kemudian pesawat. Mencoba mencari jalan keluar dari kepungan
kabut dan awan yang mengelilingi tubuh pesawat. Sungguh, pemandangan bumi nusantara
yang tadi terlihat mempesona tak lagi nampak dari kaca jendela pesawat. Yang
terlihat hanyalah segerombolan awan hitam disetiap sudut kaca.
Kemudian
kudengar dengan jelas suara pilot yang meminta izin untuk turun dari ketinggian
10000 ke 6000 kaki. Aku yang sedikit tahu tentang penerbangan, kaget mendegar
hal itu. bukankah keputusan itu beresiko tinggi? Mengingat pesawat berada di
medan pegunungan salak yang memiliki ketinggina di atas 6000 kaki, gumanku
dalam hati. Aku tak tahu alasan apa yang membuat sang pilot mengambil keputusan
itu. Tapi yang jelas tak ada pilot yang ingin mencelakakan dirinya sendiri dan
penumpangnya.
Lima
menit setelah permintaan izin tersebut dikabulkan, kudengar pekikan sang pilot
berteriak menyebut nama Tuhan dalam bahasa rusia. Kemudian, Crasssshhh....
duarrr…. Semuanya terlihat hitam, kelam, dan pekat.
***
Senja
masih bertengger di Puncak Gunung Salak ketika kuselesaikan cerita ini.
Kusandarkan kepalaku pada pohon akasia yang ada didekatku. Kuletakkan pena dan
buku kecilku di atas rerumputan di sampingku. Bau anyir darah mulai menusuk
hidung. Bau ini bisa mengundang bahaya, hewan-hewan buas Gunung Salak akan
datang ke sini, ujarku dalam hati. Dengan segala kekuatan yang tersisa, aku
bergerak menuju bangkai pesawat yang telah luluh lantah. Bangkai pesawat berada
sekitar lima puluh meter dari tempatku. Tujuanku hanya satu, menaruh buku
catatan kesayangku di dekat bangkai pesawat. Jika malam ini aku tidak selamat,
semoga nanti ada orang yang menemukan bukuku dan membaca ceritaku, fikirku.
Setelah
menaruh buku dan penaku, ingin rasanya aku kembali ke tempatku semula. Tapi,
kekuatanku sudah tak tersisa lagi. Dengan pasrah aku bersandar pada puing-puing
pesawat. Mulai kuperhatikan keadaan disekililingku. Bulir-bulir suci keluar dar
kelopak mataku. Betapa dahsyatnya kecelakaan yang baru saja kualami. Kulihat
dengan jelas, jenazah-jenazah yang sudah tak berbentuk lagi. Ada yang tertimbun
tanah, hanya kakinya yang terlihat. Ada yang kepalanya pecah tak beraturan.
Bau
anyir darah semakin memenuhi udara disekililingku. Air mataku semakin keluar
dengan derasnya, ketika kulihat lagi jenazah-jenazah para korban. Oh… Betapa
bahagianya mereka saat akan naik pesawat ini. Masih jelas terlihat senyuman
mereka kala berpose di depan kamera sebelum terbang. Kini, mereka telah pergi
bertemu sang Illahi. Oh Tuhan… semoga engkau ampuni dosa-dosa mereka, dan
semoga engkau tempatkan mereka di sisi-Mu, ujarku lirih.
Aku
kemudian teringat dengan istriku, Lis. Dengan cepat aku kembali ingat dirinya
yang mendatangiku dalam mimpi berkali-kali. Tiga malam berturut-turut ia hadir
dalam mimpiku. Lalu ia juga hadir ketika aku tidur di kantor. Ia hadir kembali
saat tanpa sengaja aku tertidur dalam pesawat.
Dan yang terakhir, kulihat wajahnya di kaca jendela pesawat. aku masih
ingat dengan jelas, saat ia berkata bahwa sebentar lagi aku akan bersamanya.
Ah… betapa bodohnya aku, yang tak tahu semua itu adalah firasat yang diberikan
Tuhan untukku.
Tapi,
aku masih belum tahu apa maksudnya Lis mengatakan bahwa sebentar lagi aku akan
bersamanya? Ah, kepalaku semakin pening memikirkan hal itu. Biarlah waktu nanti
yang menjawabnya. Karena waktu tidak pernah berdusta.
Belum
juga terjawab pertanyaanku, tiba-tiba ada bau wewangian yang menyelusup hidungku.
Semakin lama, bau itu semakin terasa. Ada apa ini? Fikirku. Apa bau ini keluar
dari tubuh para jenazah. Atau bau ini keluar dari parfum milik para penumpang
yang tumpah. Ah, tidak. Jika memang ini bau parfum yang tumpah, mengapa tadi
yang kurasa bau anyir darah. apa yang sebenarnya terjadi?
Sekali
lagi, belum juga terjawab pertanyaanku, tiba-tiba tempat disekelilingku menjadi
terang benderang. Padahal jelas, sang mentari sudah tidak menampakkan dirinya
lagi. Yang tersisa hanya riak-riak cahayanya yang dititipkan pada senja. Dan sungguh,
cahaya sisa itu takkan mampu menjadikan tempat disekelilingku terang seperti
siang hari. Semerbak wangi kembang setaman melengkapi keanehan yang kualami.
Keanehan
yang kualami masih belum berhenti. Dari kejauhan, samar-samar kulihat seorang
gadis berjalan menghampiriku. Ia memakai gaun putih dengan mahkota permata yang
berkilauan. Seuntai senyuman yang bertengger di wajahnya, semakin menambah
keanggunanya. Semakin ia mendekat, bau wewangian semakin terasa menusuk-menusuk
hidungku. Dan sungguh, betapa terkejutnya aku, ketika wanita itu adalah istriku
sendiri, Lis.
“Jangan
terkejut seperti itu Mas.” ujarnya dengan senyuman.
“Me…
me… mengapa kau di sini Lis…”
“Bukankah
telah kukatakan bahwa sebentar lagi kita akan bersama Mas, aku di sini untuk
menjemput Mas.”
“Aku
memang ingin bersamamu Lis, tapi seperti katamu dalam mimpi kemarin, dunia kita
masih berbeda Lis…”
Ia
tersenyum mendengar ucapanku.
“Apa
Mas belum sadar juga bahwa dunia kita sudah sama Mas?”
“Apa
katamu Lis…?”
“Kini
dunia kita sudah sama Mas, sejak pesawat yang Mas naiki menabrak salah satu
puncak Gunung Salak beberapa menit yang lalu.”
Betapa
terkejutnya aku mendengar ucapan istriku. Benarkah aku telah mati? Tanyaku dalam
hati.
“Ji…
jika memang aku telah mati Lis, mengapa aku masih bisa menulis cerita dan
menyelesaikannya?” ujarku dengan tergagap.
“Semua
itu karena keinginan kuat dalam diri Mas yang ingin menceritakan dan
memberitahukan peristiwa kecelakaan Pesawat Sukhoi ini pada semua orang mas. Keinginan
kuat disertai keyakinan yang kuat pula akan mengguncang Arsy Tuhan Mas. Tuhan
pun akan mengabulkan apa yang menjadi keinginan yang diyakini hamba-hamba-Nya.”
“Jika
memang yang kau katakan benar, tunjukkan
mana jasadku Lis. Aku ingin melihatnya, sebelum aku pergi bersamamu.”
“Mari
Mas, Ikut aku” Ujarnya sambil mengulurkan tangannya.
Aku
pun menyambutnya. Aneh. Seketika bajuku berubah menjadi putih setelah menyentuh
tangannya. Dengan secepat kilat aku dibawanya terbang. Menyingkap dedaunan.
Beberapa detik kemudian sampailah di tempat dimana potongan sayap Pesawat
Sukhoi berada. Kulihat asap masih
sedikit mengepul pada ujung potongan tersebut. Lalu kuarahkan pandanganku di sekelilingnya.
Sungguh hatiku ingin menjerit, ketika mata ini menemukan apa yang kucari.
Seonggok jenazah terlihat gosong bagian bawahnya. Masih utuh. Hanya saja,
bajunya sobek dengan bercak-bercak darah. Di dekatnya, sebuah kamera tergeletak
tak berdaya. Aku tak kuasa membendung air mataku untuk tidak tumpah, ketika
melihat jasadku sendiri dalam keadaan yang sungguh bikin orang ngeri.
“Sudahlah
Mas, tak perlu ditangisi. Semuanya sudah menjadi kehendak-Nya. Semoga peristiwa
ini menjadi pelajaran bagi bangsa kita. Terutama para pemimpin kita. Mari Mas,
sudah waktunya. Biarlah nanti cerita yang Mas tulis yang memberitahukan tentang
peristiwa ini.”
Dengan
anggukan kepala aku mengiyakan ajakan Lis. Lalu ia menggandengku. Sekali lagi,
aku diajaknya terbang tinggi. Semakin jauh dan jauh. Hingga semuanya tak
terlihat lagi.
Garawiksa,
25 Mei 2012
dol dol
BalasHapuspripun mas bro...? hehe
BalasHapus