Sabtu, 04 Mei 2013

Ah… ! Aku Jatuh Cinta Lagi (Catatan Ekspedisi KMS Menyusuri Jejak-Jejak Kebudayaan Indiesch di Yogyakarta)


Kalau hati sudah terikat, mana bisa berkhianat?
Kalau jiwa telah terpaut, mana bisa jadi pengecut?
Kalau mata telah tersihir, cinta mana yang bisa berakhir?
Aku jatuh cinta lagi, lagi dan lagi
Terima kasih Tuhan, atas karunia ini…
(El Khoiry Nur)
           
            Uhuk, uhuk. Eh, ketemu lagi. Hihi. ^_^ Hari ini, aku bahagia sekali. Mau tau kenapa?  Tuhan berkenan memberiku anugerah-Nya yang paling indah dari yang terindah. Cinta, ya cinta. Aku telah jatuh cinta. Bahkan cinta yang ini terasa istimewa dan sangat-sangat istimewa. Mari kuajak kembali ke beberapa jam yang lalu. Nantinya kalian akan tau, betapa berharganya cintaku. Kencangkan sabuk pengaman yah, perjalanan lintas waktu terkadang membuat pusing. Hehe. Kalau perlu pejamkan mata juga. ^_^.
***

4 Mei, 09.45, Gerbang UIN Sunan Kalijaga.
Ciiiitt…! aku Akhirnya sampai juga di kampus tercinta. Hari ini,  aku dan temen-temen KMS (Komunitas Mahasiswa Sejarah) UIN Sunan Kalijaga akan mengadakan acara di kota baru Yogyakarta. Katanya sih akan meneliti. Eh, bukan meneliti dink, kayak profesor aja meneliti. Hihi.  Emmm, tepatnya apa ya? Diskusi aja ya. Hehe. Iya, katanya akan berdiskusi tentang kebudayaan indiesch atau indis  yang ada di sana.
Oh ya… kalian sudah tau, apa yang disebut dengan kebudayaan Indiesch? Bagi yang nggak tau, aku kasih tau deh. Bagi yang sudah tau, q ingetin. Siapa tau, udah pada lupa. ^_^. Kata Indiesch atau indis berasal dari kata bahasa Belanda, Indie. Kata Indie, adalah sebuah kata yang digunakan untuk menyebut kepulauan Nusantara dulu kala. Aku kasih contoh yah. Misalnya, Nederlandsch-Indie, yang berarti Hindi-Belanda. Nederland-indiesche Spoorweg Maatschappij, yang bermakna Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Udah ya contohnya? Kalau masih kurang, cari sendiri aja. Sekarang kan mudah, untuk sekadar mencari informasi. Mbah Eyang Google, siap membantu, katanya. Coba aja. Asal jangan ke Eyang Subur. Ckckck.
Udah tau, apa itu kebudayaan Indiesch? Oh, masih nggak tau ya. Hehe. Maklum, emang belum q kasih tau. Hoho. Kan baru arti katanya doank. Ok, dengarkan baik-baik yah. Kebudayaan Indiesch atau indis, adalah perpaduan budaya yang timbul dari identitas budaya yang berbeda. Kebudayaan tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam bahasan ini, salah satunya adalah kebudayaan Jawa yang terkontaminasi kebudayaan Barat atau Eropa. Halah, malah terkontaminasi, bahasa kasar amat. Ckcck. Yang terpengaruh atau tercampur dengan kebudayaan Barat atau Eropa. Lanjut ya…
Aku masih celingukan mencari-cari para laskar KMS. Pandangan mataku menyusuri area yang terhampar luas di depan Poliklinik UIN Sunan Kalijaga. Mulai dari ATM, lalu ke selatan, ke tempat motor roda dua berjejer,  nggak kutemukan. Lalu kualihkan pandangan mataku ke barat dan langsung melaju cepat ke utara. Tapi tetep saja tak kutemukan. Ah, pada ke mana nih anak-anak, ujarku membatin. Tiba-tiba, dari arah selatan datang salah satu punggawa KMS. Dia kakak angkatan semester 6. Nggak usah aku kenalkan namanya yah? Ckckck. Owh, pengen kenalah tah? Ok dah, namanya Mas Shoeb. Panggil apa aja boleh deh. Hoho.
Setelah ngobrol ngalur ngidul, ngulon ngetan, ternyata Mas Shoeb yang dari tadi udah nongkrong jam 09.00 WIB tak menemukan punggawa KMS yang lain. Aih, jadi nggak sih acaranya? Aku membatin sekali lagi. Akhirnya aku ngirim sms ke kepala suku KMS. Gimana mas? Tulisku. Beberapa detik kemudian, dapat balasan. Katanya, anak-anak udah berangkat. Ah, ketinggalan aku. Mana nggak tau tempatnya lagi. hahaha. *Plaaaak!! Tapi ternyata Tuhan baik sekali, Sang Kepala Suku akhirnya datang ke depan poliklinik. Aseeeek, ada penunjuk jalan juga akhirnya. Ckckck. Cihuyyy.
Tapi sayang sekali, tempat diskusi dipindah, bukan di kota baru. Katanya dipindah di daerah Komplek Pakualaman Yogyakarta. Nggak apa-apalah, yang penting dapet ilmu. Berangkat!!!
***
4 Mei, 10.20, Komplek Pakualaman Yogyakarta
Tiba di TKP, kami berempat, aku, Mas Shoeb, Pak kepala suku (Mas Rizal), dan tetua KMS satu lagi langsung bergabung ke lingkaran tempat diskusi. Acara diskusinya udah dimulai. Hoho. Tapi baru pengantarnya. Suara merdu Mas Amin memandu para punggawa KMS berjalan menuju pintu dialektika masing-masing. Mantap.
Aku beberkan sedikit tentang materi yang disampaikan oleh Kak Seto yah. Please, catat kalau dirasa penting. Kalau bagi kalian nggak penting, lipat-lipat terus lempar ke tempat tidur deh. Apa maksudnya? Pikir aja sendiri. hahaha.
Ternyata, kebudayaan Indiesch mulai muncul saat orang-orang Eropa datang ke Nusantara yang awalnya untuk berdagang, berinteraksi dan akhirnya menjajah. Secara umum, kebudayaan Indiesch dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Material. Bagian material adalah seluruh bagian yang merupakan hasil cipta yang berbentuk material seperti bangunan, Fashion atau segala hal yang bersifat ragawi atau kebendaan. Kedua, Immaterial. Bagian ini yang bersifat non-ragawi. Contoh, cara hidup, cara beretika, cara berpikir dan lain sebagainya.
Nah, di Nusantara ini, ada empat macam jenis kebudayaan Indiesch dalam bentuk materi atau bangunan. Oh ya, sampai lupa. Perlu diketahui ya, bahwa kebudayaan Indiesch hanya ada di Indonesia. Istimewa bukan? Harusnya bangga dunk, menjadi insan yang terlahir di bumi nusantara ini.
Kembali lagi. Empat jenis tersebut di antaranya adalah, bangunan bergaya khas Eropa. Ciri dari bangunan ini adalah bergaya arsitektur imperial Yunani, memiliki pintu yang tinggi dan besar, serta atapnya bukan terbuat dari kayu atau daun. Tapi terbuat dari tembaga atau besi. Hayyyooo, siapa yang bangunannya memiliki ciri-ciri tersebut? Adakah?
Jenis kedua adalah bangunan dengan gaya khas Tionghoa (china). Bangunan ini, biasanya berbentuk ruko dua atau tiga lantai dan berderet 4 sampai 8 rumah yang menghadap dan berjajar ke jalan yang ramai. Contoh bangunan seperti ini banyak ditemui di sekitar pasar. Pernah ke Malioboro? Bangunan ruko yang berjajar sepanjang jalan Malioboro, termasuk ke dalam bangunan jenis ini. Contoh lainnya adalah kawasan Pecinan Semarang, Pecinan Jakarta, Surabaya dan Pasuruan.
Ketiga, adalah bangunan bergaya khas tradisional Jawa. Ciri khas dari bangunan ini adalah pintu dan jendela kecil serta pendek, beratap genteng, berbahan dasar kayu,  terdapat tiga ruangan utama, yakni senthong tengen, senthong kiwo dan senthong tengah. Ciri lainnya adalah tertutup untuk umum di bagian belakang. Oh ya, satu lagi. Di depan rumah Jawa biasanya ada tembok. Fungsi tembok ini, untuk menghalangi pandangan langsung menuju ke dalam rumah. Dalam bahasa jawanya disebut kelir, penghalang dalam sebutan bahasa Indonesia dan hijab dalam bahasa Arabnya. Hehe.
Terakhir, atau yang keempat, adalah bangunan bergaya Indiesch. Bangunan model ini lebih didominasi arsitektur Eropa. Meskipun ada sih, bagian terntentu yang bercampur dengan khas tradisional. Misal, masih memakai genteng di atap, berbahan tembok bata bukan batu dan lain sebagainya. Ciri lainnya, adanya bangunan pavilium untuk pembantu, pintu rumah dan jendela tinggi besar. Bangunan bergaya Indiesch dapat kita jumpai di kota-kota besar di Indonesia. Seperti, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Jakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya. Banyak juga yah? Hoho.
Terkhusus di Yogyakarta, bangunan Indiesch dibagi menjadi tiga bagian lagi. Dimulai dari kawasan pemerintahan, kawasan komersial, dan kawasan pemukiman. Untuk kawasan pemerintahan, terletak di sepanjang jalan Malioboro hingga ke Keraton. untuk kawasan komersial, terletak di banyak area seperti sepanjang jalan Malioboro (kecuali benteng, Istana Residen, Perbankan, Stasiun Tugu, dan kepatihan), kawasan jalan KH. Ahmad Dahlan dan Sultan Agung. Sedangkan unuk kawasan pemukiman, tersebar juga di berbagai tempat. Misal, pemukiman partikelir Eropa terletak di kota baru, kawasan pemukiman Belanda dan Bumi Putera di Wirobrajan dan sekitar kawasan Prawirotaman, untuk pegawai rendahan seperti pegawai kerta api, terdapat di kawasan Pengok, Bumijo dan di sepanjang jalan depan stasiun lempunyangan.
Gimana? Terlalu panjang yah? Hehe. Itu baru sedikit lho. Tapi nggak apa low udah capek. Aku singkat aja deh. Setelah selesai berdiskusi sebentar, rombongan kami pun digiring Kak Seto untuk melihat secara langsung bagunan-bagunan Indiesch yang ada di sekitar Pakualaman. Langsung praktik lapangan ceritanya. Hahahaha.
Di tengah matahari yang sedang gencar-gencarnya melempar suhu panasnya ke bumi, kami mulai menyusuri lorong-lorong sejarah dengan jalan kaki. Bagaimana rasanya? Ah, kata seorang temen, nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hoho. Capek? Pastinya dunk. Tapi demi perubahan yang lebih baik nggak apa-apa dah. Ada sekitar satu jam rombongan kami berpetualang ke bangunan-bangunan sejarah di sekitar wilayah pakualaman. Akhinya, kalau nggak salah, tepat jam satu, kami pun kembali ke tempat diskusi semula. Dan berakhir pula ekspedisi KMS kali ini.
Selesai acara, rasanya ada yang bergetar aneh di hatiku. Ah, entah apa itu. Yang jelas aku semakin semangat aja untuk belajar sejarah. Kata Kak Seto, orang sejarah adalah orang yang memiliki cita rasa tinggi. Nggak setuju? Mau bukti? Hihi. Hanya seorang sejarawan lah yang bisa membuat batu prasasti, bangunan tua, benda pusaka, dan berbagai peninggalan purba kala bisa bicara. Mau tau caranya gimana? Jadi sejarawan dulu baru tau caranya. hoho.
Sepertinya, aku jatuh cinta lagi. Ya, aku jatuh cinta lagi pada sejarah. Aku ingin menjadi seorang ahli sejarah dan budaya Nusantara. Aku ingin menujukkan pada dunia, bahkan semesta, bahwa Nusantara, Indonesiaku tercinta memiliki sejarah dan kebudayaan yang luar biasa hebatnya. Tak kalah dengan kebudayaan Inka, Maya, Aztec di Amerika. Tak kalah juga dengan kebudayaan Mesir kuno dan Babilonia. Ah, andaikan kalian tau, betapa menggebu-nggebunya rasa di hatiku ini. Mari kita jaga dan lestarikan warisan budaya leluhur kita, agar anak cucu kita bisa mewarisinya juga. INDONESIA PUSAKA ABADI NAN JAYA. Tisu mana tisu. Huhu. Aku jatuh cinta lagi pada sejarah dan Indonesiaku tercinta. *peluk cium, Sang Saka Merah Putih. Cukup Sekian dan terima kasih. Sampai Jumpa. Salam Sejarah!!!.

(Para Peserta KMS yang ikut ekspedisi menjelajahi kebudayaan Indiesch di Yogyakarta. Ganteng dan cantik-cantik ya. Hohoho)





           




Tidak ada komentar:

Posting Komentar