Selasa, 19 Februari 2013

Sepucuk Surat Anisa


Kisah ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan tokoh, cerita dan latar tempat terjadinya peristiwa, itu hanyalah kebetulan semata.

Anisa tercinta…
Kutulis sepucuk surat ini saat malam telah mencapai puncaknya. Seperti biasanya malam, tentunya ada bulan bintang yang menemani. Tentunya juga ada suara hewan malam dan semilir angin  yang mengiringiku merangkai kata ini. Inginku, mereka semua turut hadir saat kau membuka dan membaca surat ini. Aku ingin nantinya bulan bintang menjadi penerang di setiap kata yang kau baca. Aku ingin suara hewan malam menjadi back sound yang merdu di gendang telingamu. Aku juga ingin semilir angin membelaimu mesra, sehingga kau tak bosan untuk terus membaca.
Anisa tersayang…
Sebelum kusampaikan apa yang sebenarnya ingin kusampaikan, ada baiknya kuceritakan kepadamu apa saja yang kulakukan malam ini, sebelum akhirnya aku memilih menulis surat untukmu. Semoga saja kau tak bosan untuk membacanya
Seperti biasa, malam ini aku berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang seolah tak memberiku kesempatan untuk sekadar bergerak. Waktu malam yang seharusnya untuk beristirahat, aku gunakan untuk mengerjakan tugas kuliah yang sudah memanggil-memanggilku sejak sore tadi. Mata yang sedari Isya’ sudah diserang kantuk, aku paksa untuk membaca “History Of The Arab”, “Sejarah Peradaban Islam”, “Dinasti-Dinasti Islam”, dan beberapa sumber referensi sejarah lainnya. Yah… inilah risiko seorang mahasiswa,  bukan begitu Nis??
Satu jam telah berlalu sejak aku duduk di depan layar laptopku. Jari jemariku belum berhenti menginjak-nginjak tuts keyboard. Sedangkan buku-buku sudah berserakan di kanan dan kiriku, ada yang terbuka, ada yang masih tertutup, ada juga yang kertasnya sampai kucel, karena aku bolak-balik dari satu jam yang lalu. Kau tahu, Nis? Saat itu, mataku rasanya sudah tak mampu lagi untuk terjaga. Tubuh yang sedari pagi sampai sore beraktivitas di kampus, rasanya sudah ingin beristirahat di atas kasur yang empuk. Tetapi, sadar bahwa tugas belum selesai, maka aku paksa  mata ini untuk tetap terjaga.
Baru sebentar saja setelah aku paksa mata ini, rasa kantuk yang demikian hebatnya menyerang kembali, Nis. Saat itu juga, aku beranjak dari tempat dudukku. Tiba-tiba aku teringat masih ada sebungkus kopi sisa malam kemarin. Maka, secepat kilat aku memasak air. Setelah mendidih, aku menuangkannya ke gelas yang sudah kutaruh kopi dan gula di dalamnya. Hemmm…aroma kopi yang bertemu dengan air panas membuatku tak sabar untuk mencicipinya. Segala puji bagi Tuhan sekalian alam, Nis, mataku kembali berbinar setelah mencicipinya. Mataku seolah mendapatkan kekuatan untuk tetap terjaga sampai tugas-tugasku selesai.
Setelah aku berhasil mengurai rasa kantukku dengan secangkir kopi, aku kembali mengerjakan tugas yang sudah menanti. Berbeda dengan tadi, kini tak ada lagi kantuk yang menggelantung di kelopak mata ini. Hasrat untuk segera menyelesaikan tugasku menggelegar di dada, sehingga lelah dan letih yang tadi kurasa, kini seolah menguap tak tersisa. Degan semangat itu, akhirnya satu setengah jam kemudian tugasku terselesaikan. Kau pasti tau, Nis, betapa bahagianya hatiku saat itu.
Selesai menyimpan file dan mematikan laptop, aku kemudian beranjak ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Niatku setelah itu adalah merajut mimpi di atas kasur empuk. Aku pun menuju ke kamar, merebahkan tubuhku di atas kasur yang terhampar. Lima sepuluh menit berlalu, tetapi mata ini tak juga terpejam. Kantuk tak jua menyerangku kembali. Ah, ini pasti gara-gara pengaruh kopi tadi, pikirku. Kemudian aku pejamkan mataku kuat-kuat, tapi tetap sama. Aku tak bisa tidur. Tiba-tiba ada penyesalan yang menelisik hatiku, mengapa tadi meneguk secangkir kopi hingga hanya tersisa ampasnya saja?
Percaya atau tidak, di saat itulah bayanganmu hadir di sini, Nis. Tepat di depan mataku. Senyum manismu, anggun wajahmu tiba-tiba memenuhi otakku. Setiap kupandang sesuatu, di situlah ada dirimu. Rak buku, jam beker kecilku, bingkai foto, dan langit-langit kamarku dipenuhi wajahmu. Mungkin aku merindukanmu. Ya… aku merindukanmu, Nis. Aku merindukan dirimu. Di saat itulah, muncul sebersit keinginan untuk menulis surat ini. Mencurahkan apa yang selama ini kurasakan padamu. Hanya padamu.
Lama ku menimbang rasa, hingga akhirnya aku mantapkan hati untuk menulis surat ini untukmu. Sungguh bukan perkara mudah, untuk mengakui apa yang selama ini kurasakan dan hanya kupendam sendirian. Telah lama aku menyimpan rasa ini, Nis. Sejak kau berikan senyuman manismu di acara pelatihan kader muda organisasi yang kita ikuti 3 tahun silam, sejak itulah rasa ini menyelusup halus ke dinding hatiku. Awalnya aku tak percaya  bahwa aku telah jatuh hati padamu. Tapi hasrat untuk bertemu denganmu setiap hari membuatku mengerti, bahwa kau telah mencuri hati ini. Rindu adalah bukti dari cinta. Begitu pun sebaliknya.  Dan aku benar-benar merindukanmu. Dari situlah aku kemudian yakin, saat ini, dirimu lah yang menjadi ratu di istana hatiku.
Jika baru kali ini aku berani mengungkapkan apa yang selama ini kurasakan, maka itu karena keadaan yang membuatku melakukan itu. Kau tau, Nis? Kastaisasi dalam percintaan masih berlaku hingga saat ini. Hingga selalu membuatku takut untuk mengungkapkan segala perasaanku padamu. Aku sadar-sesadarnya, bahwa aku tak sepadan denganmu. Kau Ning, putri seorang Kiai. Sedangkan aku? Ah, sungguh aku malu untuk menyebutkan siapa diriku ini, Nis. Aku hanyalah anak seorang petani miskin yang berjuang mati-matian untuk hidup dan membiayai kuliah dengan biaya sendiri.
Jikalau nanti, setelah kau baca goresan tangan ini, kau bertanya padaku, mengapa aku mencintaimu. Sungguh aku tak tahu harus kujawab apa. Bukan karena kau seorang putri kiai, aku mencintaimu, bukan!  Bukan juga karena kau keturunan orang terpandang, bukan! Aku mencintaimu tanpa alasan, Nis. Aku mencintaimu dengan tiba-tiba, hingga kusendiri tak menyadari bahwa ku telah jatuh cinta. Aku mencintaimu tanpa mengharap balasan. Aku mencintaimu dengan sebenar-benar cinta, setulus-tulus rindu, dan seikhlas-ikhlas sayang.
Nis, seandainya kau tau apa yang aku rasakan saat ini, mungkin kau akan mengerti. Tapi tidak, Nis! Kau tak akan pernah mengerti. Bahkan jika pena dan kertas yang kumiliki habis untuk menuliskan tentang rasa ini, niscaya tak bisa menjelaskannya dengan sebenar-benarnya. Ia bagaikan butiran-butiran salju yang menyejukkan tetapi terkadang mematikan. Sejak ku sadar telah jatuh cinta padamu, aku sudah berusaha keras untuk membunuh perasaan ini. Tetapi, semakin keras ku mencoba membunuhnya, semakin subur pula rasa ini tumbuh di hati.
Annisaku tercinta…
Aku tak pernah berharap kau akan membalas perasaan ini. Biarlah perasaan ini menjadi dosa terindah dalam hidupku. Biarlah kisah ini menjadi bagian yang tak akan kulupakan dalam sejarah perjalanan hidupku. Dan kamu, biarlah tetap menjadi peri kecil abahmu dan malaikat terindah bagi calon suamimu yang telah mekhitbahmu beberapa waktu lalu. Hanya satu yang kupinta, nanti jika kau telah menikah, jangan pernah lupakan aku. Seorang yang pernah terpesona pada senyuman yang pernah kau berikan.
Dan surat ini, ah sungguh tak tau malu rasanya jika aku kirimkan surat ini untukmu. Biarlah ia menjadi manuskrip yang tersimpan rapi di buku catatanku dengan namamu yang tertulis indah di sana, di hatiku juga.
*Di muat di Malang Post, 17 Februari 2014








2 komentar:

  1. Blog Yang Bagus... :-)

    Sekilas Info CARA MENDAPATKAN UANG JUTA'AN RUPIAH DARI BLOG Anda.

    Cara Mendapatkan Uang Dari Blog.
    Manfaatkan blog anda untuk menghasilkan uang sampingan hingga juta'an rupiah/bulan. GAJI DIATAS UMR..!!!
    Bagi yang berminat silakan Mendaftar melalui Link Blog dibawah ini.

    Kunjungi Blog kami di http://newkerjaonline2013.blogspot.com/

    BalasHapus