Sabtu, 02 Februari 2013

Kalian Memaksaku Berlari!

Jika temanmu gagal kau akan merasa sedih, tapi jika temanmu menjadi yang terbaik kau akan lebih sedih! (3 idiot)

          Ehem…  
Diakui atau tidak, aku, kamu, dan kalian, pasti sedih saat melihat teman seperjuangan kita gagal. Itu manusiawi. Tetapi, kita akan lebih sedih lagi, saat teman seperjuangan kita, menjadi yang terbaik atau selevel lebih tinggi dari kita. Itu juga manusiawi. Hahaha. *Hayooo ngaku. Hoho.  Yah, itulah salah satu tingkah manusia. Right? Bagiku hal seperti itu nggak masalah. Asalkan saat kita berada selevel di bawah teman kita, kita tak berlarut-larut dalam kesedihan. Tetapi, mencoba bangkit dan mengejar ketertinggalan kita. Yang menjadi masalah adalah saat kalah dari teman kita, kita malah semakin terpuruk, ngambek, cemberut, pasang muka kucel dan tidak mencoba bangkit berdiri untuk mengejar ketertinggalan dari teman kita. *Catat! Ckckck.

Sebenarnya, sudah dari sejak kemarin sore aku ingin menuliskan apa yang sudah berjubel-jubel nggak karuan di otakku ini. Hanya saja waktu yang tak mengizinkannya. Yakin, tadi malam aku nggak bisa tidur nyenyak, hanya gara-gara memikirkannya. Plakkkk! Malah curhat. Hahaha. Tetapi, akhirnya pagi ini Tuhan memberikan kesempatan untukku menuliskannya. Yah, meski listrik mati dan si mentari tak kunjung menampakkan diri, aku tetap semangat untuk senam jari di atas keyboard lepi. Hihihi.
Ok. Aku awali saat kemarin sore aku chat dengan teman seperjuanganku di asrama penulis Rumah Diva. Sebut saja namanya Ucup. Setelah basa-basi, tanya kabar dan sebagainya, dia melontarkan satu pertanyaan yang menyodok ulu hatiku. “Gimana, kabar tulisanmu? Udah di muat di mana?” tulisnya di inbox FB-ku. Ah, aku benar-benar kaget mendapat pertanyaan itu. Sebab, sejak tulisan pertamaku di muat di koran Suara Karya Jakarta bulan Juni 2012 yang lalu, tulisan dan namaku tak pernah nongkrong lagi di media massa selain, di blogku sendiri,  website PWNU DIY dan Majalah Bangkit PWNU DIY. Itu saja, karena aku reporter dari majalah tersebut. Sebaliknya, milik teman-temanku satu persatu nangkring dengan manisnya di media massa.
Aku masih ingat, saat Omen Nugroz Sandriyani, si pecinta wanita dari Cirebon , berteriak girang nggak karuan, karena tulisannya nyungsep di Harian Jogja. Aku juga masih ingat saat Ipunk, si jenggot dari Madura, malu-malu menunjukkan karyanya yang bertengger indah di Harian Jogja. Aku juga masih ingat sekali saat Nur Sholikin yang katanya ingin menjadi Menteri Pendidikan, membuat gebrakan luar biasa. Bayangkan, dua hari berturut-turut, namanya menduduki tahta media massa di Radar Jateng dan Lampung Post. Dan, satu lagi yang nggak terlupakan adalah saat ucup, yang memakai nama pena Muhammad Yusuf Ar-Rahman, karya pertamanya mengobrak-abrik koran Harian Jogja dengan judul bombastis, “Surat Terbuka untuk Presiden”. Sampai-sampai, tulisan ini mendapat apresiasi dari sastrawan galau dari Madura, Mawaidi. D. Dimas. Upps, sory salah. Mawaidi D. Mas, maksudnya. Ckckck.
Yah, melihat perkembangan teman-temanku tersebut, aku mencoba mengejarnya. Sejak itu, aku rajin menulis opini–meskipun  tidak setiap hari–dan  mengirimkannya ke media massa. Tetapi, hingga hari ini, menit ini, detik ini, nama dan tulisanku tak kunjung bertengger di media massa lagi. Sedih? Pastinya. Tapi itu tak membuatku patah semangat. Untung, sejak tulisannya Ucup di muat di Harian Jogja, nggak ada lagi tulisan dari teman-teman yang dimuat lagi selain cerpen dan pusinya Mawaidi. D. Mas. Lumayan, bisa memberiku kesempatan untuk bernapas. Xixixi.
            Saat liburan semester tiba, aku sudah merencanakan untuk tidak pulang. Aku ingin menggembleng diriku sendiri untuk terus menulis opini setiap hari dan mengirimkannya ke media massa. Tapi sayang, keinginan tersebut tak terwujud. Aku disuruh pulang kakakku, karena bapak sakit. Yah, meski berat hati meninggalkan asramaku yang penuh kompetisi, aku tetap pergi.
            Meski jauh dari teman-temanku, aku masih tetap menjalin komunikasi. Tanya kabarlah atau apa. Tapi yang sering aku tanyakan adalah tentang karya teman-temanku, ada yang dimuat lagi nggak. Itu kulakukan, agar aku tahu perkembangan teman-teman di asrama. Yah, untuk beberapa waktu aku lega, karena belum ada. hahaha. Lumayan lagi bagiku untuk beristirahat sejenak, karena di rumah aku nggak bisa menulis opini dan mengirimkannya ke media massa. Jaringan internet yang susah dan sikon rumah tak memberiku kesempatan untuk fokus menulis. Jadilah aku hanya membuat coretan-coretan tak berarti seperti ini di lepiku.
            Istirahat menulisku di rumah terganggu saat beberapa waktu lalu aku mendapat pesan pendek dari Ucup yang mengatakan bahwa puisinya si calon Menteri Pendidikan, Sholikin, nangkring di Majalah Kuntum. Ah, sungguh betapa gusarnya hatiku. Ingin segera aku kembali untuk mengejar ketertinggalanku. Tapi sayang, sekali lagi Tuhan nggak mengizinkan. Bapakku belum juga baikan. Akhirnya hal itu memaksaku bertahan lebih lama di rumah. Aku coba menghibur diriku sendiri dengan merawat bapakku.
Tetapi, lagi-lagi hatiku panas nggak karuan ketika kemarin sore, ucup memberitahuku bahwa tulisannya Fawaid, ahli fiqh dari Bondowoso, menjebol redaksi Majalah Kuntum, puisinya Zainudin Kawula, bertengger gagah di Batam Post. Dan lagi-lagi, tulisannya si Calon Menteri Pendidikan di muat di Koran Bali. Ah, sungguh semua itu membuatku tak sabar untuk segera kembali dan berkompetisi lagi.
Untuk teman-temanku di Asrama, aku bangga punya teman-teman seperti kalian yang memiliki semangat dan etos kerja tinggi. Kalian tau? Kalian memaksaku berlari! Tunggu aku di medan pertempuran setelah aku kembali nanti. ^_^. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar