Kalau hati
sudah terikat, mana bisa berkhianat?
Kalau jiwa
telah terpaut, mana bisa jadi pengecut?
Kalau mata
telah tersihir, cinta mana yang bisa berakhir?
Aku jatuh
cinta lagi, lagi dan lagi
Terima kasih
Tuhan, atas karunia ini…
(El Khoiry Nur)
(El Khoiry Nur)
Uhuk, uhuk. Eh, ketemu lagi. Hihi. ^_^
Hari ini, aku bahagia sekali. Mau tau kenapa?
Tuhan berkenan memberiku anugerah-Nya yang paling indah dari yang
terindah. Cinta, ya cinta. Aku telah jatuh cinta. Bahkan cinta yang ini terasa
istimewa dan sangat-sangat istimewa. Mari kuajak kembali ke beberapa jam yang
lalu. Nantinya kalian akan tau, betapa berharganya cintaku. Kencangkan sabuk
pengaman yah, perjalanan lintas waktu terkadang membuat pusing. Hehe. Kalau
perlu pejamkan mata juga. ^_^.
***
4 Mei, 09.45,
Gerbang UIN Sunan Kalijaga.
Ciiiitt…! aku Akhirnya
sampai juga di kampus tercinta. Hari ini, aku dan temen-temen KMS (Komunitas Mahasiswa
Sejarah) UIN Sunan Kalijaga akan mengadakan acara di kota baru Yogyakarta. Katanya
sih akan meneliti. Eh, bukan meneliti dink, kayak profesor aja meneliti. Hihi. Emmm, tepatnya apa ya? Diskusi aja ya. Hehe.
Iya, katanya akan berdiskusi tentang kebudayaan indiesch atau indis yang ada di sana.
Oh ya… kalian
sudah tau, apa yang disebut dengan kebudayaan Indiesch? Bagi yang nggak tau,
aku kasih tau deh. Bagi yang sudah tau, q ingetin. Siapa tau, udah pada lupa.
^_^. Kata Indiesch atau indis berasal dari kata bahasa Belanda, Indie. Kata
Indie, adalah sebuah kata yang digunakan untuk menyebut kepulauan Nusantara
dulu kala. Aku kasih contoh yah. Misalnya, Nederlandsch-Indie, yang berarti
Hindi-Belanda. Nederland-indiesche Spoorweg Maatschappij, yang bermakna
Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Udah ya contohnya? Kalau masih kurang,
cari sendiri aja. Sekarang kan mudah, untuk sekadar mencari informasi. Mbah Eyang
Google, siap membantu, katanya. Coba aja. Asal jangan ke Eyang Subur. Ckckck.
Udah tau, apa
itu kebudayaan Indiesch? Oh, masih nggak tau ya. Hehe. Maklum, emang belum q
kasih tau. Hoho. Kan baru arti katanya doank. Ok, dengarkan baik-baik yah.
Kebudayaan Indiesch atau indis, adalah perpaduan budaya yang timbul dari
identitas budaya yang berbeda. Kebudayaan tersebut saling mempengaruhi satu
sama lain. Dalam bahasan ini, salah satunya adalah kebudayaan Jawa yang
terkontaminasi kebudayaan Barat atau Eropa. Halah, malah terkontaminasi, bahasa
kasar amat. Ckcck. Yang terpengaruh atau tercampur dengan kebudayaan Barat atau
Eropa. Lanjut ya…
Aku masih
celingukan mencari-cari para laskar KMS. Pandangan mataku menyusuri area yang
terhampar luas di depan Poliklinik UIN Sunan Kalijaga. Mulai dari ATM, lalu ke
selatan, ke tempat motor roda dua berjejer, nggak kutemukan. Lalu kualihkan pandangan
mataku ke barat dan langsung melaju cepat ke utara. Tapi tetep saja tak
kutemukan. Ah, pada ke mana nih anak-anak, ujarku membatin. Tiba-tiba, dari
arah selatan datang salah satu punggawa KMS. Dia kakak angkatan semester 6.
Nggak usah aku kenalkan namanya yah? Ckckck. Owh, pengen kenalah tah? Ok dah, namanya
Mas Shoeb. Panggil apa aja boleh deh. Hoho.
Setelah
ngobrol ngalur ngidul, ngulon ngetan, ternyata Mas Shoeb yang dari tadi
udah nongkrong jam 09.00 WIB tak menemukan punggawa KMS yang lain. Aih, jadi
nggak sih acaranya? Aku membatin sekali lagi. Akhirnya aku ngirim sms ke kepala
suku KMS. Gimana mas? Tulisku. Beberapa detik kemudian, dapat balasan.
Katanya, anak-anak udah berangkat. Ah, ketinggalan aku. Mana nggak tau
tempatnya lagi. hahaha. *Plaaaak!! Tapi ternyata Tuhan baik sekali, Sang Kepala
Suku akhirnya datang ke depan poliklinik. Aseeeek, ada penunjuk jalan juga
akhirnya. Ckckck. Cihuyyy.
Tapi sayang
sekali, tempat diskusi dipindah, bukan di kota baru. Katanya dipindah di daerah
Komplek Pakualaman Yogyakarta. Nggak apa-apalah, yang penting dapet ilmu.
Berangkat!!!
***
4 Mei, 10.20,
Komplek Pakualaman Yogyakarta
Tiba di TKP,
kami berempat, aku, Mas Shoeb, Pak kepala suku (Mas Rizal), dan tetua KMS satu
lagi langsung bergabung ke lingkaran tempat diskusi. Acara diskusinya udah
dimulai. Hoho. Tapi baru pengantarnya. Suara merdu Mas Amin memandu para
punggawa KMS berjalan menuju pintu dialektika masing-masing. Mantap.
Aku beberkan
sedikit tentang materi yang disampaikan oleh Kak Seto yah. Please, catat kalau
dirasa penting. Kalau bagi kalian nggak penting, lipat-lipat terus lempar ke
tempat tidur deh. Apa maksudnya? Pikir aja sendiri. hahaha.
Ternyata,
kebudayaan Indiesch mulai muncul saat orang-orang Eropa datang ke Nusantara
yang awalnya untuk berdagang, berinteraksi dan akhirnya menjajah. Secara umum,
kebudayaan Indiesch dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Material. Bagian
material adalah seluruh bagian yang merupakan hasil cipta yang berbentuk
material seperti bangunan, Fashion atau segala hal yang bersifat ragawi atau
kebendaan. Kedua, Immaterial. Bagian ini yang bersifat non-ragawi. Contoh,
cara hidup, cara beretika, cara berpikir dan lain sebagainya.
Nah, di
Nusantara ini, ada empat macam jenis kebudayaan Indiesch dalam bentuk materi
atau bangunan. Oh ya, sampai lupa. Perlu diketahui ya, bahwa kebudayaan
Indiesch hanya ada di Indonesia. Istimewa bukan? Harusnya bangga dunk, menjadi
insan yang terlahir di bumi nusantara ini.
Kembali lagi.
Empat jenis tersebut di antaranya adalah, bangunan bergaya khas Eropa. Ciri
dari bangunan ini adalah bergaya arsitektur imperial Yunani, memiliki pintu
yang tinggi dan besar, serta atapnya bukan terbuat dari kayu atau daun. Tapi
terbuat dari tembaga atau besi. Hayyyooo, siapa yang bangunannya memiliki
ciri-ciri tersebut? Adakah?
Jenis kedua
adalah bangunan dengan gaya khas Tionghoa (china). Bangunan ini, biasanya berbentuk
ruko dua atau tiga lantai dan berderet 4 sampai 8 rumah yang menghadap dan
berjajar ke jalan yang ramai. Contoh bangunan seperti ini banyak ditemui di
sekitar pasar. Pernah ke Malioboro? Bangunan ruko yang berjajar sepanjang jalan
Malioboro, termasuk ke dalam bangunan jenis ini. Contoh lainnya adalah kawasan Pecinan
Semarang, Pecinan Jakarta, Surabaya dan Pasuruan.
Ketiga, adalah
bangunan bergaya khas tradisional Jawa. Ciri khas dari bangunan ini adalah
pintu dan jendela kecil serta pendek, beratap genteng, berbahan dasar kayu, terdapat tiga ruangan utama, yakni senthong
tengen, senthong kiwo dan senthong tengah. Ciri lainnya adalah tertutup untuk
umum di bagian belakang. Oh ya, satu lagi. Di depan rumah Jawa biasanya ada tembok.
Fungsi tembok ini, untuk menghalangi pandangan langsung menuju ke dalam rumah.
Dalam bahasa jawanya disebut kelir, penghalang dalam sebutan bahasa Indonesia
dan hijab dalam bahasa Arabnya. Hehe.
Terakhir, atau
yang keempat, adalah bangunan bergaya Indiesch. Bangunan model ini lebih
didominasi arsitektur Eropa. Meskipun ada sih, bagian terntentu yang bercampur
dengan khas tradisional. Misal, masih memakai genteng di atap, berbahan tembok
bata bukan batu dan lain sebagainya. Ciri lainnya, adanya bangunan pavilium
untuk pembantu, pintu rumah dan jendela tinggi besar. Bangunan bergaya Indiesch
dapat kita jumpai di kota-kota besar di Indonesia. Seperti, Yogyakarta,
Surakarta, Semarang, Jakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya. Banyak juga yah? Hoho.
Terkhusus di
Yogyakarta, bangunan Indiesch dibagi menjadi tiga bagian lagi. Dimulai dari kawasan
pemerintahan, kawasan komersial, dan kawasan pemukiman. Untuk kawasan
pemerintahan, terletak di sepanjang jalan Malioboro hingga ke Keraton. untuk
kawasan komersial, terletak di banyak area seperti sepanjang jalan Malioboro
(kecuali benteng, Istana Residen, Perbankan, Stasiun Tugu, dan kepatihan),
kawasan jalan KH. Ahmad Dahlan dan Sultan Agung. Sedangkan unuk kawasan pemukiman,
tersebar juga di berbagai tempat. Misal, pemukiman partikelir Eropa terletak di
kota baru, kawasan pemukiman Belanda dan Bumi Putera di Wirobrajan dan sekitar
kawasan Prawirotaman, untuk pegawai rendahan seperti pegawai kerta api,
terdapat di kawasan Pengok, Bumijo dan di sepanjang jalan depan stasiun
lempunyangan.
Gimana?
Terlalu panjang yah? Hehe. Itu baru sedikit lho. Tapi nggak apa low udah capek.
Aku singkat aja deh. Setelah selesai berdiskusi sebentar, rombongan kami pun
digiring Kak Seto untuk melihat secara langsung bagunan-bagunan Indiesch yang
ada di sekitar Pakualaman. Langsung praktik lapangan ceritanya. Hahahaha.
Di tengah
matahari yang sedang gencar-gencarnya melempar suhu panasnya ke bumi, kami
mulai menyusuri lorong-lorong sejarah dengan jalan kaki. Bagaimana rasanya? Ah,
kata seorang temen, nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hoho. Capek? Pastinya
dunk. Tapi demi perubahan yang lebih baik nggak apa-apa dah. Ada sekitar satu
jam rombongan kami berpetualang ke bangunan-bangunan sejarah di sekitar wilayah
pakualaman. Akhinya, kalau nggak salah, tepat jam satu, kami pun kembali ke
tempat diskusi semula. Dan berakhir pula ekspedisi KMS kali ini.
Selesai acara,
rasanya ada yang bergetar aneh di hatiku. Ah, entah apa itu. Yang jelas aku
semakin semangat aja untuk belajar sejarah. Kata Kak Seto, orang sejarah adalah
orang yang memiliki cita rasa tinggi. Nggak setuju? Mau bukti? Hihi. Hanya
seorang sejarawan lah yang bisa membuat batu prasasti, bangunan tua, benda
pusaka, dan berbagai peninggalan purba kala bisa bicara. Mau tau caranya gimana?
Jadi sejarawan dulu baru tau caranya. hoho.
Sepertinya,
aku jatuh cinta lagi. Ya, aku jatuh cinta lagi pada sejarah. Aku ingin menjadi
seorang ahli sejarah dan budaya Nusantara. Aku ingin menujukkan pada dunia,
bahkan semesta, bahwa Nusantara, Indonesiaku tercinta memiliki sejarah dan
kebudayaan yang luar biasa hebatnya. Tak kalah dengan kebudayaan Inka, Maya,
Aztec di Amerika. Tak kalah juga dengan kebudayaan Mesir kuno dan Babilonia.
Ah, andaikan kalian tau, betapa menggebu-nggebunya rasa di hatiku ini. Mari
kita jaga dan lestarikan warisan budaya leluhur kita, agar anak cucu kita bisa
mewarisinya juga. INDONESIA PUSAKA ABADI NAN JAYA. Tisu mana tisu. Huhu.
Aku jatuh cinta lagi pada sejarah dan Indonesiaku tercinta. *peluk cium, Sang
Saka Merah Putih. Cukup Sekian dan terima kasih. Sampai Jumpa. Salam
Sejarah!!!.
(Para Peserta KMS yang ikut ekspedisi menjelajahi kebudayaan Indiesch di Yogyakarta. Ganteng dan cantik-cantik ya. Hohoho)
Posting Komentar